PLATO, ARISTOTELES, DAN EMBRIO
PEMIKIRANNYA
Disusun Oleh: Kelompok IX
Semester : V PAI B
1.
Arfika
Falensi (2015.01.012)
2.
Marhidayati
(2015.01.068)
3.
Suci
Utari (2015.01.110)
Dosen Pengampu: Ichromsyah Arrochman,
M.Pd.I
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL-QUR’AN AL-ITTIFAQIAH
INDRALAYA OGAN ILIR SUMATERA SELATAN
TAHUN AKADEMIK 2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN
Kata filsafat berasal dari
kata Yunani filosofia, yang berasal dari kata kerja filosofein
yang berarti mencintai kebijaksanaan. Dalam kehidupan modern ini, filsafat bisa
diartikan sebagai ilmu yang berupaya memahami semua hal yang muncul di dalam
keseluruhan ruang lingkungan pandangan dan pengalaman umat manusia.
Dalam filsafat banyak sekali tokoh-tokoh
yang mengkaji tentang filsafat itu. Berikut penulis akan membahas tentang tokoh
Plato, Aristoteles dan embrio pemikirannya.
1.
Apa
pengertian dari filsafat?
2.
Bagaimana
embrio pemikiran dari Plato?
3.
Bagaimana
embrio pemikiran dari Aristoteles?
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari filsafat
2.
Untuk
mengetahui embrio pemikiran dari Plato
3.
Untuk
mengetahui embrio pemikiran dari Aristoteles
BAB II
PEMBAHASAN
Filsafat berasal dari bahasa Yunani
Kuno: philos dan sophia. Philos berarti cinta dan sophia
berarti kebijakan, kebaikan atau kebenaran, atau bisa juga cinta atau hikmah.
Hasan Shadily (1984: 9) mengatakan bahwa filsafat menurut asal katanya adalah
cinta pada ilmu pengetahuan. Dengan demikian, dapat ditarik pengertian bahwa
filsafat addalah cinta pada ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada hikmah
atau kebijakan. Jadi, orang yang berfilsafat adalah orang yang mencintai
kebenaran, berilmu pengetahuan, ahli hikmah, dan bijaksana.
Dalam kehidupan modern ini, filsafat
bisa diartikan sebagai ilmu yang berupaya memahami semua hal yang muncul di
dalam keseluruhan ruang lingkungan pandangan dan pengalaman umat manusia.
Dengan kata lain, berfilsafat adalah satu upaya untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalan berbagai bidang kehidupan manusia.[1]
1.
Biografi
Singkat
Plato dilahirkan dalam keluarga aristokratis di Athena, sekitar 427
SM. Ayahnya, Ariston, adalah keturunan dari raja pertama Athena yang berkuasa
pada abad ke-7 SM. Sementara ibunya, Perictions, adalah keturunan keluarga
Solon, seorang pembuat undang-undang, penyair, memimpin militer dari kaum
ningrat dan pendiri dari demokrasi Athena terkemuka.[2]
Sebagai orang yang dilahirkan dalam lingkungan keluarga bangsawan,
bernama Phyrilampes. Sejak anak-anak ia telah mengenal Socrates dan kemudian
menjadi gurunya selama 8 tahun.
Pada usia 40 tahun ia mengunjungi Italia dan Sicilia, untuk belajar
ajaran Phythagoras, kemudia, sekembalinya ia mendirikan sekolah: Akademia.
Sekolah tersebut dinamakan Akademis, karena berdekatan dengan kuil Akademos
seorang pahlawan Athena. Ia memimpin sekolah tersebut selama 40 tahun. Ia
memberikan pengajaran secara baik dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat,
terutama bagi orang-orang yang akan menjadi politikus.[3]
2.
Embrio
Pemikirannya
Sebagai titik tolak pemikiran filsafatnya, ia mencoba menyelesaikan
permasalahan lama: mana yang benar yang berubah-ubah (Heracleitos) atau yang
tetap (Parmenides). Mana yang benar antara pengetahuan yang lewat indra dengan
pengetahuan yang lewat akal. Pengetahuan yang diperolehnya lewat indra
disebutnya pengetahuan pengetahuan indra atau pengetahuan pengalaman. Sementara
itu, pengetahuan yang diperoleh lewat akal disebut pengetahuan akal. Pengetahuan
indra atau pengetahuan pengalaman bersifat tidak tetap atau berubah-ubah,
sedangkan pengetahuan akal bersifat tetap atau tidak berubah-ubah.
a.
Dunia
Ide dan Dunia Pengalaman
Sebagai penyelesaian persoalan yang dihadapi Plato tersebut di
atas, ia menerangkan bahwa manusia itu sesungguhnya berada dalam dua dunia,
yaitu dunia pengalaman yang bersifat tidak tetap, bermacam-macam dan berubah
serta dunia ide yang bersifat tetap, hanya satu macam, dan tidak berubah. Dunia
pengalaman merupakan bayang-bayang dari dunia ide sedangkan dunia ide merupakan
dunia yang sesungguhnya, yaitu dunia realitas. Dunia inilah yang menjadi
“model” dunia pengalaman. Dengan demikian, dunia yang sesungguhnya atau dunia
realitas itu adalah dunia ide.
Jadi, Plato, dengan ajarannya tentang ide, berhasil menjembatani
pertentang pendapat antara Herakleitos dan Parmenides. Plato mengemukakan bahwa
ajaran dan pemikiran Herakleitos itu benar, tetapi hanya berlaku pada dunia
pengalaman. Sebaliknya, pendapat Parmenides juga benar, tetapi hanya berlaku
pada dunia ide yang hanya dapat dipikirkan oleh akal.
Dibandingkan dengan gurunya, Socrates, Plato telah maju selangkah
dalam pemikirannya. Socrates baru sampai pada pemikiran tentang sesuatu yang
umum dan merupakan hakikat suatu realitas, tetapi Plato telah mengembangkannya
dengan pemikiran bahwa hakikat suatu realitas itu bukan “yang umum”, tetapi
yang mempunyai kenyataan yang terpisah dari sesuatu yang berada secara konkret,
yaitu ide. Dunia ide inilah yang hanya dapat dipikirkan dan diketahui oleh
akal.
b.
Pemikiran
tentang Tuhan
Pemikirannya tentang Tuhan, Plato mengemukakan bahwa terdapat
beberapa masalah bagi manusia yang tidak pantas apabila tidak mengetahui.
Masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Manusia
itu mempunyai Tuhan sebagai penciptanya.
2)
Tuhan
itu mengetahui segala sesuatu yang diperbuat oleh manusia.
3)
Tuhan
hanya dapat diketahui dengan cara negatif, tidak ada ayat, tidak ada anak dan
lain-lain.
4)
Tuhanlah
yang menjadikan alam ini tidak mempunyai peraturan menjadi peratran. [4]
c.
Pemikirannya
tentang Etika dan Negara
Sebagai puncak pemikiran filsafat Plato adalah pemikirannya tentang
negara, yang tertera dalam Polites dan Nomoi. Pemikirannya tentang negara ini
sebagai uapaya Plato untuk memperbaiki keadaan negara yang dirasakan buruk.
Konsepnya tentang negara di dalamnya terkait etika dan teorinya
tentang negara. Konsepnya tentang etika sama seperti Socrates, yaitu bahwa
tujuan hidup manusia adalah hidup yang baik (eudaimonia atau well-being).
Akan tetapi, untuk hidup yang baik tidak mungkin dilakukan tanpa di dalam polis
(negara). Alasannya, karena manusia menurut kodratnya merupakan makhluk sosial
dan kodratnya di dalam polis (negara). Maka, untuk hidup yang baik, dituntut
adanya negara yang baik. Sebaliknya, polis (negara) yang jelek atau buruk tidak
mungkin menjadi para warganya hidup dengan baik.
Menurut Plato, di dalam negara yang ideal terdapat tiga golongan
berikut.
1)
Golongan
yang tertinggi, terdiri dari orang-orang yang memeritah (para penjaga, para
filsuf).
2)
Golongan
pembantu, terdiri dari para prajurit, yang bertugas untuk menjaga keamanan
negara dan menjaga ketaatan para warganya.
3)
Golongan
rakyat biasa, terdiri dari petani, pedagang, tukang, yang bertugas untuk
memikul ekonomi negara (polis).
Tugas negarawan adalah menciptakan keselarasan antara semua
keahlian dalam negara (polis) sehingga mewujudkan keseluruhan yang
harmonis. Bentuk pemerintahan harus disesuaikan dengan keadaan yang nyata.
Apabila suatu negara telah mempunyai Undang-Undang Dasar, bentuk
pemerintahan yang paling tepat adalah monarki. Bentuk pemerintahan yang
aristokratis dianggap kurang tepat dan sedangkan bentuk pemerintahan yang
paling tepat adalah demokrasi, dan yang paling buruk adalah monarki. Konsep
tentang negara ini tertera dalam Politeia (Tata negara).[5]
d.
Ajarannya
tentang Jiwa
Plato menganggap jiwa sebagai pusat atau intisari kepribadian
manusia. Dalam anggapannya tentang jiwa, Plato tidak saja dipengaruhi oleh
Socrates, tetapi juga oleh Orfisme dan mazhab Pythagorian. Plato berkeyakinan
teguh bahwa jiwa manusia bersifat baka. Keyakinan ini bersangkut paut dengan
ajarannya tentang idea-idea. Salah satu argumen penting adalah kesamaan yang
terdapat antara jiwa dan idea-idea. Jiwa pun mempunyai sifat-sifat yang sama
seperti terdapat pada idea-idea.[6]
1.
Biografi
Singkat
Aristoteles adalah murid Plato. Dia adalah seorang cendekiawan dan
intelek terkemuka, mungkin sepanjang masa. Aristoteles lahir tahun 394 SM di
Stagira, sebuah kota kecil di Semenanjung Chalcidice di sebelah barat Laut
Egea. Ayahnya, Nichomachus, adalah dokter perawat Amyntas II, Raja Makedonia.
Ayahnyalah yang mengatur agar Aristoteles menerima pendidikan lengkap pada awal
masa kanak-kanak dan mengajarinya ilmu kedokteran dan teknkik pembedahan. Ayah
dan ibunya, Phaesta, mempunyai nenek moyang terkemuka.[7]
Dia mendalami berbagai ilmu pengetahuan di Academy di bawah
pimpinan Plato ini selama 20 tahun termasuk dia menjadi guru di sana. Dia
seorang mahasiswa brilian. Plato memberikan pengaruh besar bagi Aristoteles
walaupun kemudian mereka harus berbeda dalam beberapa pemikiran. Aristoteles
mengembangkan filsafatnya sendiri. Pada tahun 343 SM Raja Philip dari Makedonia
memintanya untuk menjadi guru (tutor) Alexander, putra sang Raja.
Aristoteles kembali ke kota tempat tinggalnya dan mendirikan
perguruan, semacam universitas, Lyceum. Di sana Aristoteles tetap mengembangkan
karier intelektualnya.[8]
2.
Embrio
Pemikirannya
a.
Ajarannya
tentang Logika
Logika tidak dipakai oleh Aristoteles, ia memakai istilah
analitika. Istilah logika pertama kali muncul pada abad pertama Masehi oleh
Cicero, artinya seni berdebat. Kemudian, Alexander Aphrodisias (Abad III
Masehi) orang pertama yang memakai kata logika yang artinya ilmu yang
menyelidiki lurus tidaknya pemikiran kita.
Menurut Aristoteles, berpikir harus dilakukan dengan bertitik tolak
pada pengertian-pengertian sesuatu benda. Suatu pengertian memuat dua golongan,
yaitu substansi (sebagai sifat yang umum), dan aksidensia (sebagai sifat yang
secara tidak kebetulan).
b.
Ajarannya
tentang Silogisme
Menurut Aristoteles, pengetahuan manusia hanya dapat dimunculkan
dengan dua cara, yaitu induksi dan deduksi. Induksi adalah suatu proses
berpikir yang bertolak pada hal-hal yang khusus untuk mencapai kesimpulan yang
sifatnya umum. Sementara itu, deduksi adalah proses berpikir yang bertolak pada
dua kebenaran yang tidak diragukan lagi untuk mencapai kesimpulan sebagai
kebenaran yang ketiga. Menurut pendapatnya, deduksi ini merupakan jalan yang
baik untuk melahirkan pengetahuan baru. Berpikir deduksi yaitu silogisme, yang
terdiri dari premis mayor dan premis minor, dan kesimpulan.
c.
Ajarannya
tentang Pengelompokan Ilmu Pengetahuan
Aristoteles mengelompokkan ilmu pengetahuan menjadi tiga golongan,
yaitu:
1)
Ilmu
pengetahuan praktis (etika dan politik);
2)
Ilmu
pengetahuan produktif (teknik dan kesenian);
3)
Ilmu
pengetahuan teoretis (fisika, matematika, metafisika).
d.
Ajarannya
tentang Aktus dan Potensia
Mengenai realitas atau yang ada, Aristoteles tidak sependapat
dengan gurunya Plato yang mengatakan bahwa realitas itu ada pada dunia ide.
Menurut Aristoteles, yang ada itu berada pada hal-hal yang khusus dan konkret.
Dengan kata lain, titik tolak ajaran atau pemikiran filsafatnya adalah ajaran
Plato tentang ide. Realitas yang sungguh-sungguh ada bukanlah yang umum dan
yang tetap seperti yang dikemukakan Plato, tetapi realitas terdapat pada yang
khusus dan yang individual. Keberadaan manusia bukan di dunia ide, tetapi
manusia berada yang satu persatu. Dengan demikian realitas itu terdapat pada
yang kongkret, yang bermacam-macam, yang berubah-ubah. Itulah realitas yang
sesungguhnya.[9]
e.
Ajarannya
tentang Pengenalan
Menurut Aistoteles, terdapat dua macam pengenalan, yaitu pengenalan
indrawi dan pengenalan rasional. Dengan pengenalan indrawi kita hanya dapat
memperoleh pengetahuan tentan bentuk benda (bukan materinya) dan hanya mengenal
hal-hal yang kongret. Sementara itu, pengenalan rasional kita akan dapat
memperoleh pengetahuan tentang hakikat dari sesuatu benda. Dengan pengenalan
rasional ini kita dapat menuju satu-satunya untuk ke ilmu pengetahuan. Cara
untuk menuju ke ilmu pengetahuan adalah dengan teknik abstraksi. Abstraksi
artinya melepaskan sifat-sifat atau keadaan yang secara kebetulan, sehingga
tinggal sifat ata keadaan yang secara kebetulan yaitu intisari atau hakikat
suatu benda.
f.
Ajarannya
tentang Etika
Aristoteles mempunyai perhatian yang khusus terhadap masalah etika.
Karena etika bukan diperuntukkan sebagai cita-cita, akan tetapi dipakai sebagai
hukum kesusilaan. Menurut pendapatnya, tujuan tertinggi hidup manusia adalah
kebahagiaan (eudaimonia). Kebahagiaan adalah suatu keadaan di mana
segala sesuatu yang termasuk dalam keadaan bahagia telah ada dalan diri
manusia. Jadi, bukan sebagai kebahagiaan subjektif. Kebahagiaan harus sebagai
suatu aktivitas yang nyata, dan dengan perbuatannya itu dirinya semakin
disempurnakan. Kebahagiaan manusia yang tertinggi adalah berpikir murni.
g.
Ajarannya
tentang Negara
Menurut
Aristoteles, negara akan damai apabila rakyatnya juga damai. Negara yang paling
baik adalah negara dengan sistem demokrasi moderat, artinya sistem demokrasi
yang berdasarkan Undang-Undang Dasar.[10]
BAB III
PENUTUP
1.
Pengertian
Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani Kuno: philos dan sophia.
Philos berarti cinta dan sophia berarti kebijakan, kebaikan atau
kebenaran, atau bisa juga cinta atau hikmah.
2.
Plato
dan Embrio Pemikirannya
a.
Dunia
Ide dan Dunia Pengalaman
b.
Pemikiran
tentang Tuhan
c.
Pemikirannya
tentang Etika dan Negara
d.
Ajarannya
tentang Jiwa
3.
Aristoteles
dan Embrio Pemikirannya
a.
Ajarannya
tentang Logika
b.
Ajarannya
tentang Silogisme
c.
Ajarannya
tentang Pengelompokan Ilmu Pengetahuan
d.
Ajarannya
tentang Aktus dan Potensia
e.
Ajarannya
tentang Pengenalan
f.
Ajarannya
tentang Etika
g.
Ajarannya
tentang Negara
DAFTAR
PUSTAKA
Achmadi, Asmoro. 2007. Filsafat
Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Burhan, Akhyar. 2014. Pengantar Filsafat. Palembang:
Universitas Sriwijaya.
Jalaluddin, & Abdullah Idi. 2016. Filsafat
Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Rapar, J. H. 1991. Filsafat Politik Plato. Jakarta:
Rajawali Pers.
[1] Jalaluddin dan
Abdullah Idi. Filsafat Pendidikan. (Jakarta: Rajawali Pers, 2016). Hal: 1.
[2] Ibid. Hal: 72.
[3] Asmoro
Achmadi. Filsafat Umum. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007). Hal:
51.
[4] Ibid. Hal:
51-53.
[5] Ibid. Hal:
53-54.
[6] J. H. Rapar. Filsafat
Politik Plato. (Jakarta: Rajawali Pers, 1991). Hal: 54.
[7] Jalaluddin dan
Abdullah Idi. Op. Cit. Hal: 74.
[8] Akhyar Burhan.
Pengantar Filsafat. (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2014). Hal:
34-35.
[9] Asmoro
Achmadi. Op. Cit. Hal: 56-58.
[10] Ibid. hal: 59.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar