Assalamu'alaikum.. Selamat Datang di Blog Suci Utari.. Selamat Membaca, Semoga Dapat Memberikan Manfaat.. Mohon Kritik dan Sarannya ^_^

Kamis, 21 Desember 2017

PLATO, ARISTOTELES, DAN EMBRIO PEMIKIRANNYA

PLATO, ARISTOTELES, DAN EMBRIO PEMIKIRANNYA



Disusun Oleh: Kelompok IX
Semester : V PAI B
 1.      Arfika Falensi             (2015.01.012)
2.      Marhidayati                 (2015.01.068)
3.      Suci Utari                    (2015.01.110)
Dosen Pengampu: Ichromsyah Arrochman, M.Pd.I



SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL-QUR’AN AL-ITTIFAQIAH
INDRALAYA OGAN ILIR SUMATERA SELATAN
TAHUN AKADEMIK 2017/2018




BAB I

PENDAHULUAN
Kata filsafat berasal dari kata Yunani filosofia, yang berasal dari kata kerja filosofein yang berarti mencintai kebijaksanaan. Dalam kehidupan modern ini, filsafat bisa diartikan sebagai ilmu yang berupaya memahami semua hal yang muncul di dalam keseluruhan ruang lingkungan pandangan dan pengalaman umat manusia.
Dalam filsafat banyak sekali tokoh-tokoh yang mengkaji tentang filsafat itu. Berikut penulis akan membahas tentang tokoh Plato, Aristoteles dan embrio pemikirannya.
1.      Apa pengertian dari filsafat?
2.      Bagaimana embrio pemikiran dari Plato?
3.      Bagaimana embrio pemikiran dari Aristoteles?
1.      Untuk mengetahui pengertian dari filsafat
2.      Untuk mengetahui embrio pemikiran dari Plato
3.      Untuk mengetahui embrio pemikiran dari Aristoteles



BAB II

PEMBAHASAN
Filsafat berasal dari bahasa Yunani Kuno: philos dan sophia. Philos berarti cinta dan sophia berarti kebijakan, kebaikan atau kebenaran, atau bisa juga cinta atau hikmah. Hasan Shadily (1984: 9) mengatakan bahwa filsafat menurut asal katanya adalah cinta pada ilmu pengetahuan. Dengan demikian, dapat ditarik pengertian bahwa filsafat addalah cinta pada ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada hikmah atau kebijakan. Jadi, orang yang berfilsafat adalah orang yang mencintai kebenaran, berilmu pengetahuan, ahli hikmah, dan bijaksana.
Dalam kehidupan modern ini, filsafat bisa diartikan sebagai ilmu yang berupaya memahami semua hal yang muncul di dalam keseluruhan ruang lingkungan pandangan dan pengalaman umat manusia. Dengan kata lain, berfilsafat adalah satu upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalan berbagai bidang kehidupan manusia.[1]
1.      Biografi Singkat
Plato dilahirkan dalam keluarga aristokratis di Athena, sekitar 427 SM. Ayahnya, Ariston, adalah keturunan dari raja pertama Athena yang berkuasa pada abad ke-7 SM. Sementara ibunya, Perictions, adalah keturunan keluarga Solon, seorang pembuat undang-undang, penyair, memimpin militer dari kaum ningrat dan pendiri dari demokrasi Athena terkemuka.[2]
Sebagai orang yang dilahirkan dalam lingkungan keluarga bangsawan, bernama Phyrilampes. Sejak anak-anak ia telah mengenal Socrates dan kemudian menjadi gurunya selama 8 tahun.
Pada usia 40 tahun ia mengunjungi Italia dan Sicilia, untuk belajar ajaran Phythagoras, kemudia, sekembalinya ia mendirikan sekolah: Akademia. Sekolah tersebut dinamakan Akademis, karena berdekatan dengan kuil Akademos seorang pahlawan Athena. Ia memimpin sekolah tersebut selama 40 tahun. Ia memberikan pengajaran secara baik dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat, terutama bagi orang-orang yang akan menjadi politikus.[3]
2.      Embrio Pemikirannya
Sebagai titik tolak pemikiran filsafatnya, ia mencoba menyelesaikan permasalahan lama: mana yang benar yang berubah-ubah (Heracleitos) atau yang tetap (Parmenides). Mana yang benar antara pengetahuan yang lewat indra dengan pengetahuan yang lewat akal. Pengetahuan yang diperolehnya lewat indra disebutnya pengetahuan pengetahuan indra atau pengetahuan pengalaman. Sementara itu, pengetahuan yang diperoleh lewat akal disebut pengetahuan akal. Pengetahuan indra atau pengetahuan pengalaman bersifat tidak tetap atau berubah-ubah, sedangkan pengetahuan akal bersifat tetap atau tidak berubah-ubah.
a.       Dunia Ide dan Dunia Pengalaman
Sebagai penyelesaian persoalan yang dihadapi Plato tersebut di atas, ia menerangkan bahwa manusia itu sesungguhnya berada dalam dua dunia, yaitu dunia pengalaman yang bersifat tidak tetap, bermacam-macam dan berubah serta dunia ide yang bersifat tetap, hanya satu macam, dan tidak berubah. Dunia pengalaman merupakan bayang-bayang dari dunia ide sedangkan dunia ide merupakan dunia yang sesungguhnya, yaitu dunia realitas. Dunia inilah yang menjadi “model” dunia pengalaman. Dengan demikian, dunia yang sesungguhnya atau dunia realitas itu adalah dunia ide.
Jadi, Plato, dengan ajarannya tentang ide, berhasil menjembatani pertentang pendapat antara Herakleitos dan Parmenides. Plato mengemukakan bahwa ajaran dan pemikiran Herakleitos itu benar, tetapi hanya berlaku pada dunia pengalaman. Sebaliknya, pendapat Parmenides juga benar, tetapi hanya berlaku pada dunia ide yang hanya dapat dipikirkan oleh akal.
Dibandingkan dengan gurunya, Socrates, Plato telah maju selangkah dalam pemikirannya. Socrates baru sampai pada pemikiran tentang sesuatu yang umum dan merupakan hakikat suatu realitas, tetapi Plato telah mengembangkannya dengan pemikiran bahwa hakikat suatu realitas itu bukan “yang umum”, tetapi yang mempunyai kenyataan yang terpisah dari sesuatu yang berada secara konkret, yaitu ide. Dunia ide inilah yang hanya dapat dipikirkan dan diketahui oleh akal.
b.      Pemikiran tentang Tuhan
Pemikirannya tentang Tuhan, Plato mengemukakan bahwa terdapat beberapa masalah bagi manusia yang tidak pantas apabila tidak mengetahui. Masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1)      Manusia itu mempunyai Tuhan sebagai penciptanya.
2)      Tuhan itu mengetahui segala sesuatu yang diperbuat oleh manusia.
3)      Tuhan hanya dapat diketahui dengan cara negatif, tidak ada ayat, tidak ada anak dan lain-lain.
4)      Tuhanlah yang menjadikan alam ini tidak mempunyai peraturan menjadi peratran. [4]
c.       Pemikirannya tentang Etika dan Negara
Sebagai puncak pemikiran filsafat Plato adalah pemikirannya tentang negara, yang tertera dalam Polites dan Nomoi. Pemikirannya tentang negara ini sebagai uapaya Plato untuk memperbaiki keadaan negara yang dirasakan buruk.
Konsepnya tentang negara di dalamnya terkait etika dan teorinya tentang negara. Konsepnya tentang etika sama seperti Socrates, yaitu bahwa tujuan hidup manusia adalah hidup yang baik (eudaimonia atau well-being). Akan tetapi, untuk hidup yang baik tidak mungkin dilakukan tanpa di dalam polis (negara). Alasannya, karena manusia menurut kodratnya merupakan makhluk sosial dan kodratnya di dalam polis (negara). Maka, untuk hidup yang baik, dituntut adanya negara yang baik. Sebaliknya, polis (negara) yang jelek atau buruk tidak mungkin menjadi para warganya hidup dengan baik.
Menurut Plato, di dalam negara yang ideal terdapat tiga golongan berikut.
1)      Golongan yang tertinggi, terdiri dari orang-orang yang memeritah (para penjaga, para filsuf).
2)      Golongan pembantu, terdiri dari para prajurit, yang bertugas untuk menjaga keamanan negara dan menjaga ketaatan para warganya.
3)      Golongan rakyat biasa, terdiri dari petani, pedagang, tukang, yang bertugas untuk memikul ekonomi negara (polis).
Tugas negarawan adalah menciptakan keselarasan antara semua keahlian dalam negara (polis) sehingga mewujudkan keseluruhan yang harmonis. Bentuk pemerintahan harus disesuaikan dengan keadaan yang nyata.
Apabila suatu negara telah mempunyai Undang-Undang Dasar, bentuk pemerintahan yang paling tepat adalah monarki. Bentuk pemerintahan yang aristokratis dianggap kurang tepat dan sedangkan bentuk pemerintahan yang paling tepat adalah demokrasi, dan yang paling buruk adalah monarki. Konsep tentang negara ini tertera dalam Politeia (Tata negara).[5]
d.      Ajarannya tentang Jiwa
Plato menganggap jiwa sebagai pusat atau intisari kepribadian manusia. Dalam anggapannya tentang jiwa, Plato tidak saja dipengaruhi oleh Socrates, tetapi juga oleh Orfisme dan mazhab Pythagorian. Plato berkeyakinan teguh bahwa jiwa manusia bersifat baka. Keyakinan ini bersangkut paut dengan ajarannya tentang idea-idea. Salah satu argumen penting adalah kesamaan yang terdapat antara jiwa dan idea-idea. Jiwa pun mempunyai sifat-sifat yang sama seperti terdapat pada idea-idea.[6]
1.      Biografi Singkat
Aristoteles adalah murid Plato. Dia adalah seorang cendekiawan dan intelek terkemuka, mungkin sepanjang masa. Aristoteles lahir tahun 394 SM di Stagira, sebuah kota kecil di Semenanjung Chalcidice di sebelah barat Laut Egea. Ayahnya, Nichomachus, adalah dokter perawat Amyntas II, Raja Makedonia. Ayahnyalah yang mengatur agar Aristoteles menerima pendidikan lengkap pada awal masa kanak-kanak dan mengajarinya ilmu kedokteran dan teknkik pembedahan. Ayah dan ibunya, Phaesta, mempunyai nenek moyang terkemuka.[7]
Dia mendalami berbagai ilmu pengetahuan di Academy di bawah pimpinan Plato ini selama 20 tahun termasuk dia menjadi guru di sana. Dia seorang mahasiswa brilian. Plato memberikan pengaruh besar bagi Aristoteles walaupun kemudian mereka harus berbeda dalam beberapa pemikiran. Aristoteles mengembangkan filsafatnya sendiri. Pada tahun 343 SM Raja Philip dari Makedonia memintanya untuk menjadi guru (tutor) Alexander, putra sang Raja.
Aristoteles kembali ke kota tempat tinggalnya dan mendirikan perguruan, semacam universitas, Lyceum. Di sana Aristoteles tetap mengembangkan karier intelektualnya.[8]
2.      Embrio Pemikirannya
a.       Ajarannya tentang Logika
Logika tidak dipakai oleh Aristoteles, ia memakai istilah analitika. Istilah logika pertama kali muncul pada abad pertama Masehi oleh Cicero, artinya seni berdebat. Kemudian, Alexander Aphrodisias (Abad III Masehi) orang pertama yang memakai kata logika yang artinya ilmu yang menyelidiki lurus tidaknya pemikiran kita.
Menurut Aristoteles, berpikir harus dilakukan dengan bertitik tolak pada pengertian-pengertian sesuatu benda. Suatu pengertian memuat dua golongan, yaitu substansi (sebagai sifat yang umum), dan aksidensia (sebagai sifat yang secara tidak kebetulan).
b.      Ajarannya tentang Silogisme
Menurut Aristoteles, pengetahuan manusia hanya dapat dimunculkan dengan dua cara, yaitu induksi dan deduksi. Induksi adalah suatu proses berpikir yang bertolak pada hal-hal yang khusus untuk mencapai kesimpulan yang sifatnya umum. Sementara itu, deduksi adalah proses berpikir yang bertolak pada dua kebenaran yang tidak diragukan lagi untuk mencapai kesimpulan sebagai kebenaran yang ketiga. Menurut pendapatnya, deduksi ini merupakan jalan yang baik untuk melahirkan pengetahuan baru. Berpikir deduksi yaitu silogisme, yang terdiri dari premis mayor dan premis minor, dan kesimpulan.
c.       Ajarannya tentang Pengelompokan Ilmu Pengetahuan
Aristoteles mengelompokkan ilmu pengetahuan menjadi tiga golongan, yaitu:
1)        Ilmu pengetahuan praktis (etika dan politik);
2)        Ilmu pengetahuan produktif (teknik dan kesenian);
3)        Ilmu pengetahuan teoretis (fisika, matematika, metafisika).
d.      Ajarannya tentang Aktus dan Potensia
Mengenai realitas atau yang ada, Aristoteles tidak sependapat dengan gurunya Plato yang mengatakan bahwa realitas itu ada pada dunia ide. Menurut Aristoteles, yang ada itu berada pada hal-hal yang khusus dan konkret. Dengan kata lain, titik tolak ajaran atau pemikiran filsafatnya adalah ajaran Plato tentang ide. Realitas yang sungguh-sungguh ada bukanlah yang umum dan yang tetap seperti yang dikemukakan Plato, tetapi realitas terdapat pada yang khusus dan yang individual. Keberadaan manusia bukan di dunia ide, tetapi manusia berada yang satu persatu. Dengan demikian realitas itu terdapat pada yang kongkret, yang bermacam-macam, yang berubah-ubah. Itulah realitas yang sesungguhnya.[9]
e.       Ajarannya tentang Pengenalan
Menurut Aistoteles, terdapat dua macam pengenalan, yaitu pengenalan indrawi dan pengenalan rasional. Dengan pengenalan indrawi kita hanya dapat memperoleh pengetahuan tentan bentuk benda (bukan materinya) dan hanya mengenal hal-hal yang kongret. Sementara itu, pengenalan rasional kita akan dapat memperoleh pengetahuan tentang hakikat dari sesuatu benda. Dengan pengenalan rasional ini kita dapat menuju satu-satunya untuk ke ilmu pengetahuan. Cara untuk menuju ke ilmu pengetahuan adalah dengan teknik abstraksi. Abstraksi artinya melepaskan sifat-sifat atau keadaan yang secara kebetulan, sehingga tinggal sifat ata keadaan yang secara kebetulan yaitu intisari atau hakikat suatu benda.

f.        Ajarannya tentang Etika
Aristoteles mempunyai perhatian yang khusus terhadap masalah etika. Karena etika bukan diperuntukkan sebagai cita-cita, akan tetapi dipakai sebagai hukum kesusilaan. Menurut pendapatnya, tujuan tertinggi hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia). Kebahagiaan adalah suatu keadaan di mana segala sesuatu yang termasuk dalam keadaan bahagia telah ada dalan diri manusia. Jadi, bukan sebagai kebahagiaan subjektif. Kebahagiaan harus sebagai suatu aktivitas yang nyata, dan dengan perbuatannya itu dirinya semakin disempurnakan. Kebahagiaan manusia yang tertinggi adalah berpikir murni.
g.      Ajarannya tentang Negara
Menurut Aristoteles, negara akan damai apabila rakyatnya juga damai. Negara yang paling baik adalah negara dengan sistem demokrasi moderat, artinya sistem demokrasi yang berdasarkan Undang-Undang Dasar.[10]



BAB III

PENUTUP
1.      Pengertian Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani Kuno: philos dan sophia. Philos berarti cinta dan sophia berarti kebijakan, kebaikan atau kebenaran, atau bisa juga cinta atau hikmah.
2.      Plato dan Embrio Pemikirannya
a.       Dunia Ide dan Dunia Pengalaman
b.      Pemikiran tentang Tuhan
c.       Pemikirannya tentang Etika dan Negara
d.      Ajarannya tentang Jiwa
3.      Aristoteles dan Embrio Pemikirannya
a.       Ajarannya tentang Logika
b.      Ajarannya tentang Silogisme
c.       Ajarannya tentang Pengelompokan Ilmu Pengetahuan
d.      Ajarannya tentang Aktus dan Potensia
e.       Ajarannya tentang Pengenalan
f.        Ajarannya tentang Etika
g.      Ajarannya tentang Negara



DAFTAR PUSTAKA

 

Achmadi, Asmoro. 2007. Filsafat Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Burhan, Akhyar. 2014. Pengantar Filsafat. Palembang: Universitas Sriwijaya.
Jalaluddin, & Abdullah Idi. 2016. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Rapar, J. H. 1991. Filsafat Politik Plato. Jakarta: Rajawali Pers.




[1] Jalaluddin dan Abdullah Idi. Filsafat Pendidikan. (Jakarta: Rajawali Pers, 2016). Hal: 1.
[2] Ibid. Hal: 72.
[3] Asmoro Achmadi. Filsafat Umum. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007). Hal: 51.
[4] Ibid. Hal: 51-53.
[5] Ibid. Hal: 53-54.
[6] J. H. Rapar. Filsafat Politik Plato. (Jakarta: Rajawali Pers, 1991). Hal: 54.
[7] Jalaluddin dan Abdullah Idi. Op. Cit. Hal: 74.
[8] Akhyar Burhan. Pengantar Filsafat. (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2014). Hal: 34-35.
[9] Asmoro Achmadi. Op. Cit. Hal: 56-58.
[10] Ibid. hal: 59.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi Yakinlah

  Yakinlah Oleh : Suci Utari   Masih ingat masalah di akhir tahun kemarin? Saat itu dilematis sekali mencerup hawa bening Laksana ...