HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU KALAM, FILSAFAT, DAN ILMU JIWA AGAMA
(PSIKOLOGI AGAMA)
Dosen Pengampu : M.
Muttaqin, M.Pd.I
Disusun Oleh : Kelompok III
Semester: III PAI B
1.
Billy Muharrom
(2015.01.016)
2.
Darul Nadwan
(2015.01.017)
3.
Suci Utari
(2015.01.110)
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL-QUR’AN AL-ITTIFAQIAH
INDRALAYA OGAN ILIR SUMATERA SELATAN
TAHUN AKADEMIK 2016-2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahhirobbil’alamin berkat rahmat-Nya dan karunia-Nya yang
tak terhingga di limpahkan kepada kita semua sehingga karena itu juga penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah untuk mata kuliah Ilmu Tasawuf dengan Dosen
Pengampu Ustadzh M. Muttaqin M.Pd.I yang berjudul “Hubungan Tasawuf dengan Ilmu
Kalam, Filsafat, dan Ilmu Jiwa Agama (Psikologi Agama)”.
Tak lupa sholawat serta salam semoga Allah SWT. senantiasa
melimpahkan-Nya dan mencurahkan-Nya pada penghulu kami baginda Nabi Muhammad
SAW, beserta keluarganya, para sahabatnya, dan kita semua selaku umatnya semoga
mendapatkan syafaat di Yaumil Akhir nanti.
Penulis menyadari dalam makalah yang disusun dengan sedemikian rupa
belum sempurna seperti yang ada dalam benak dan harapan pembaca semua karena
penulis hanya manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa karena
kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
Penulis berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua baik
penulis selaku penyusun maupun pembaca.
Indralaya, 29 Oktober 2016
Kelompok III
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
............................................................................ i
DAFTAR ISI
...........................................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah ............................................................. 1
B.
Rumusan
Masalah ...................................................................... 1
C.
Tujuan
Penulisan
........................................................................ 1
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hubungan
Tasawuf dengan Ilmu Kalam .................................. 2
B.
Hubungan
Tasawuf dengan Filsafat ......................................... 5
C.
Hubungan
Tasawuf dengan Ilmu Jiwa Agama ........................ 8
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
.............................................................................. 13
B.
Saran
........................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA
......................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Islam, sebagaimana dijumpai dalam
sejarah, ternyata tidak sesempit yang dipahami pada umumnya. Dalam sejarah
terlihat bahwa Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadis dapat berhubungan
dengan pertumbuhan masyarakat luas.
Ilmu-ilmu agama Islam yang timbul
pada masyarakat luas itu, antara lain ilmu Al-Qur’an, ilmu hadis, ilmu
fiqh-ushul fiqh, ilmu tasawuf, ilmu filsafat Islam, ilmu sejarah Islam, ilmu
pendidikan Islam, dan ilmu dakwah.
Tasawuf sebagai sebuah disiplin ilmu
keislaman, tidak dapat terlepas dari ilmu-ilmu keislaman lainya, seperti ilmu
kalam dan fiqh. Tidak hanya itu, tasawuf juga tidak dapat lepas dari ilmu
filsafat dan psikologi agama.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
hubungan tasawuf dengan ilmu kalam ?
2.
Bagaimana
hubungan tasawuf dengan filsafat ?
3.
Bagaimana
hubungan tasawuf dengan ilmu jiwa agama ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui hubungan tasawuf dengan ilmu kalam
2.
Untuk
mengetahui hubungan tasawuf dengan filsafat
3.
Untuk
mengetahui hubungan tasawuf dengan ilmu jiwa agama
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam
Al-Farabi mendefinisikan ilmu kalam
sebagai berikut:
اَ لْكَلَا مُ
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ ذَاتِ اللهِ تَعَا لَى وَ صِفَا تِهِ وَاَ حْوَا لِ
الْمُمْكِنَا تِمِنَ الْمَبْدَاءِوَاالْمَعَا دِ عَلَى قَا نُوْ نِ الْاءِسْلَا مِ
وَالْقَيْدِ الْأَ خِيْرِ لِاءِ خْرَا جِ الْعِلْمِالْاءِ ٰلهِيِّ لِلْفَلَا
سِفَةِ . . . .
Artinya: “Ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang membahas tentang
Dzat dan sifat-sifat Allah serta eksistensi semua yang mukmin, mulai yang
berkenaan dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang berlandaskan
doktrin Islam. Stressing akhirnya memproduksi ilmu ketuhanan secara filosofis .
. . .”.
Ibnu Khaldun mendefinisikan ilmu
kalam sebagai berikut:
هُوَ عِلْمٌ يَتَضَمَّنُ الْحُجَّاجَ عَلَى الْعَقَا ئِدِ الْإِ يْمَا
نِيَّةِ بِالْأَ دِلَّةِ الْعَقْلِيَّةِ .
Artinya :“Ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang mengandung
argumentasi-argumentasi tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dali
rasional”.[1]
Ilmu kalam[2]
merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang
persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan kalam ini biasanya mengarah pada
perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentas, baik rasional (aqliyah)
maupun naqliyah. Argumentasi rasional yang dimaksudkan adalah landasan
pemahaman yang cenderung menggunakan metode berfikir filosofis. Adapun
argumentasi naqliyah biasanya bertendensi pada argumentasi pada dalil-dalil
Al-Qur’an dan Hadis. Ilmu kalam sering menempatkan diri pada kedua pendekatan
ini (aqli dan naqli), tetapi dengan metode argumentasi yang dialektik. Jika
pembicaraan kalam Tuhan berkisar pada keyakinan-keyakinan yang harus dipegang
oleh umat Islam, ilmu ini lebih spesifik mengambil bentuk sendiri dengan istilah
ilmu tauhid atau ilmu ‘aqa’id.[3]
Pembicaraan materi-materi yang
tercakup dalam ilmu kalam terkesan tidak menyentuh dzauq (rasa
rohaniah). Sebagai contoh ilmu tauhid menerangkan bahwa Allah bersifat sama’
(mendengar), bashar (melihat), kalam (berbicara), iradah
(berkemauan), qudrah (kuasa), hayat (hidup), dan sebagainya.
Namun, ilmu kalam atau ilmu tauhid tidak menjelaskan bagaimanakah seorang hamba
dapat merasakan langsung bahwa Allah Mendengar dan Melihat. Bagaimana pula
perasaan hati seseorang merasa bahwa segala sesuatu yang tercipta merupakan
pengaruh dari qudrah (kekuasaan) Allah ?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sulit
terjawab dengan hanya melandaskan diri pada ilmu tauhid atau ilmu kalam.
Biasanya, yang membicarakan penghayatan sampai pada penanaman kejiwaan manusia
adalah ilmu tasawuf. Disiplin inilah yang membahas bagaimana merasakan
nilai-nilai akidah dengan memerhatikan bahwa persoalan tadzawwuq (
bagaimana merasakan) tidak saja termasuk dalam lingkup hal yang sunnah atau
dianjurkan, tetapi justru termasuk hal yang diwajibkan.[4]
As-Sunnah memnerikan perhatian yang
begitu besar terhadap masalah tadzawwuq, seperti hadis Rasul yang
dikutip Said Hawwa, “Yang merasakan iman adalah orang yang rida kepada Allah
sebagai Tuhan, rida kepada Islam sebagai agama, dan rida kepada Muhammad
sebagai Nabi dan Rasul”.
Dalam hadis lain, Rasulullah pun
pernah mengungkapkan, “Ada tiga perkara seseorang dapat merasakan lezatnya
iman: orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari yang lain; orang yang
mencintai hamba karena Alllah; dan orang yang takut kembali pada kekufuran,
seperti ketakutannya untuk dimasukkan ke dalam api neraka”.
Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan
iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan
batasannya. Sementara pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode
praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman, sebagaimana dijelaskan juga
tentang menyelamatkan diri dari kemunafikan. Semua itu tidak cukup hanya
diketahui batasan-batasannya oleh seseorang. Sebab, terkadang seseorang sudah
mengetahui batasan-batasan kemunafikan, tetapi tetap melaksanakannya. Allah
berfirman :
قَا لَتِ الْاَ عْرَا بُ اٰ مَنَّا ۗ
قُلْ لَمْ تُؤْ مِنُوْا وَلٰكِنْ قُوْ لُوْآ اَسْلَمْنَا وَ لَمَّا يَدْ
خُلِ الْاِ يْمَا نُ فِيْ قُلُوْ بِكُمْ ۗ . .
Artinya : “Orang-orang Arab Badui berkata, ‘Kami telah beriman’.
Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman’, tetapi katakanlah, ‘Kami
telah tunduk (Islam)’ karena iman belum masuk kedalam hatimu’. (Q.S.
Al-Hujurat [49]: 14)
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam,
ilmu tasawuf berfungsi sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam.
Penghayatan yang mendalam melalui hati (dzauq dan wijdan)
terhadap ilmu tauhid atau ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau teraplikasikan
dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu tasawuf merupakan sisi terapan rohaniah
dari ilmu tauhid.
Ilmu kalam pun berfungsi sebagai
pengendali ilmu tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul aliran yang bertentangan
akidah, atau lahir kepercayaan baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan
As-Sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan. Jika bertentangan
atau tidak pernah diriwayatkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau belum pernah
diriwayatkan oleh ulama-ulama salaf, hal itu harus ditolak.
Selain itu, ilmu tasawuf mempunyai
fungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatan-perdebatan kalam.
Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi
ilmu yang mengandung muatan rasional di samping muatan naqliah. Jika
tidak diimbangi dengan kesadaran rohaniah, ilmu kalam akan bergerak ke arah
yang lebih liberal dan bebas. Di sinilah ilmu tasawuf berfungsi memberi muatan
rohaniah sehingga ilmu kalam tidak dikesankan dialektika keislaman belaka, yang
kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan secara qabliyah (hati).[5]
Bagaimanapun amalan-amalan tasawuf
mempunyai pengaruh yang besar dalam ketauhidan. Jika rasa sabar tidak ada,
muncullah kekufuran. Jika rasa syukur sedikit, lahirlah bentuk kegelapan
sebagai reaksi. Begitu juga ilmu tauhid dapat memberi kontribusi pada ilmu
tasawuf. Sebagai contoh, jika cahaya tauhid telah lenyap, akan timbul
penyakit-penyakit kalbu, seperti ujub, congkak, riya’, dengki, hasud, dan
sombong. Apabila manusia sadar bahwa Allah yang memberi, niscaya rasa hasud dan
dengki akan sirna. Jika dia mengetahui kedudukan penghambaan diri, niscaya
tidak akan ada rasa sombong dan membanggakan diri. Jika manusia sadar bahwa dia
betul-betul hamba Allah, niscaya tidak akan ada perebutan kekuasaan. Jika
manusia sadar bahwa Allah pencipta segala sesuatu, niscaya tidak akan ada sifat
ujub dan riya’. Dari sinilah dapat dilihat bahwa ilmu tauhid merupakan jenjang
pertama dalam pendakian menuju Allah (pendakian kaum sufi).
Dengan ilmu tasawuf, semua persoalan
yang berada dalam kajian ilmu tauhid terasa lebih bermakna, tidak kaku, tetapi
akan lebih dinamis dan aplikatif.[6]
B.
Hubungan Tasawuf dengan Filsafat
Menurut al-Farabi, filsafat adalah
ilmu yang menyelidiki hakikat yang sebenarnya dari segala yang ada (al-ilmu
bil-maujudat bi ma hiya al-maujudat).[7]
Filsafat dilihat dari pengertian
praktisnya adalah alam pikiran. Berfilsafat artinya berfikir. Berfilsafat
adalah berpikir secara mendalam dan bersungguh-sungguh.
Menurut Oemar Amin Hoesin, ilmu
memberi pengetahuan. Sementara itu, filsafat memberikan hikmah dan kepuasan
kepada keinginan manusia akan kebenaran yang tersusun dengan tertib.[8]
Sebenarnya Al – Qur’an mendukung
adanya filsafat yang ditandai dengan adanya ayat – ayat Al – Qur’an yang
menyuruh manusia untuk menggunakan logikanya untuk berpikir dan berenung.
Berikut adalah sebagian dari ayat – ayat Al – Qur’an nya yang menganjurkan :
اَفَلمْ يَنْظُرُوْآ ااِلَى السَّمَآ ءِفَوْ قَهُمْ كَيْفَ بَنَيْنٰهاَ
وَزَيَّنّٰهَا وَمَا لَهَا مِنْ فُرُوْ جٍ ۙ (٦)
وَالْاَرْضِ مَدَ دْ نٰهَا وَاَلْقَيْنَا فِيْهَا رَوَا سِيَ وَاَنْبَۘتْنَا
فِيْهَا مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَۘهِيْجٍۙ (۷)
Artinya: “Maka tidaklah
memperhatikan langit yang ada diatas mereka, bagaimana cara kami membangunnya
dan menghiasinya, dan tidak terdapat retak-retak sedikit pun?. Dan bumi yang
Kami hamparkan dan Kami pancangkan di atasnya gunung-gunung yang kokoh, dan
Kami tumbuhkan di atasnya tanam-tanaman yang indah. (Q.S. Qaf [50: 6-7])
فَلْيَنْظُرِالْاِنْسَا
نُ مِمَّ خُلِقَ(۵)خُلِقَ مِنْ مَّآءٍ دَافِقٍ(٦) يَّخْرُجُ مِنْ بَۘيْنِالصُّلْبِ
وَالتَّرَأ ئِبِ ۗ (۷)
Artinya: “Maka hendaklah manusia
memerhatikan dari apa dia diciptakan. Dia diciptakan dari air (mani) yang
terpancar,. Yang keluar dari antara tulang punggung (sulbi) dan tulang dada. (Q.S.
At-Tāriq [86: 5-7])
Ayat–ayat tersebut mengandung
perintah agar manusia memperhatikan, merenungkan dan memikirkan tentang segala
sesuatu, diantaranya adalah langit, pencipta manusia, laut yang dapat dilayari
dan sebagainya. Dengan demikian Al–Qur’an memerintahkan kepada manusia agar
mempelajari filsafat, karena manusia harus membuat spekulasi atas alam raya ini
dan merenungkan segala sesuatu yang ada.
Biasanya tasawuf dan filsafat selalu
dipandang berlawanan. Ada juga anggapan bahwa pencarian jalan tasawuf mengharuskan
pencelaan filsafat, tidak hanya berupa timbal balik dan saling mempengaruhi,
bahkan asimilasi (perpaduan) dan hubungan ini sama sekali tidak terbatas pada
kebencian dan permusuhan. Tasawuf adalah pencarian jalan ruhani, kebersatuan
dengan kebenaran mutlak dan pengetahuan mistik menurut jalan dan sunnah.
Sedangkan filsafat tidak dimaksudkan hanya filsafat peripatetic rasionalistik,
tetapi seluruh mazhab intelektual dalam kultur Islam yang telah berusaha
mencapai pengetahuan mengenai sebab awal melalui daya intelek.[9]
Dalam memecahkan persoalan, filsafat
menggunakan akal. Sementara itu, tasawuf menggunakan batin, perasaan, dan
kesederhanaan pola pikir dengan perspektif agama.
Ilmu tasawuf yang berkembang di
dunia Islam tidak dapat dinafikan dari sumbangan pemikiran kefilsafatan. Ini
dapat dilihat, misalnya, dalam kajian-kajian tasawuf yang berbicara tentang
jiwa. Secara jujur harus diakui bahwa terminologi jiwa dan roh itu sendiri
sesungguhnya terminologi yang banyak dikaji dalam pemikiran-pemikiran filsafat.
Sederetan intelektual muslim ternama yang mengkaji tentang jiwa dan roh, di
antaranya Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali.
Kajian-kajian mereka tentang jiwa
dalam pendekatan kefilsafatan ternyata lebih banyak memberikan sumbangan yang
sangat berharga bagi kesempurnaan kajian tawasuf dalam dunia Islam. Pemahaman
tentang jiwa dan roh itu sendiri menjadi hal yang esensial. Kajian-kajian
kefilsafatan tentang hal tersebut. Kemudian banyak dikembangkan. Namun, perlu
juga dicatat bahwa istilah yang lebih banyak dikembangkan adalah istilah qalb
(hati). Istilah ini memang spesifik dikembangkan dalam tasawuf. Namun, tidak
berarti bahwa istilah ini tidak berpengaruh dengan roh dan jiwa.[10]
Menurut sebagian ahli tasawuf, nafs
(jiwa) adalah roh setelah bersatu dengan jasad. Penyatuan roh dan jasad
melahirkan pengaruh yang ditimbulkan oleh jasad terhadap roh. Pengaruh-pengaruh
ini akhirnya memunculkan kebutuhan-kebutuhan jasad yang dibangun roh. Jika
jasad tidak memiliki tuntutan-tuntutan yang tidak sehat dan tidak terdapat
pengekangan nafsu, sedangkan hati tetap sehat; maka tuntutan jiwa terus
berkembang dan jasad menjadi binasa karena melayani jiwa.[11]
C.
Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Jiwa Agama
Psikologi agama terdiri dari dua
kata yaitu psikologi dan agama yang menurut bahasa, Psikologi berasal dari
bahasa yunani yaitu “Psyche” dan “logos”. “Psyche” yang artinya jiwa
dan “logos” yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi psikologi adalah ilmu
yang mempelajari tentang jiwa baik mengenai macam-macam gejalanya, proses
maupun latarbelakang.
Psikologi secara etimologi
mengandung arti ilmu tentang jiwa. Dalam islam kata jiwa disamakan
dengan “an-nafsu” namun ada juga yang menyamakan dengan
istilah“ar-ruh”. Tetapi istilah “an-nafsu” lebih فpopuler dari pada
istilah “ar-ruh”, karena psikologi dalam bahasa arab lebih populer
diterjemahkan dengan ilmu an-nafsu dari pada ilmu ar-ruh. Dalam al-quran surat
al-fajr ayat 27-30 disebutkan, kata an-nafsu berarti jiwa:
يٰآَ يَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنّةُ ۙ (۲۷) ارْجِعِيْ اِلٰى رَبِّكِ
رَا ضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ (۲۸) فَادْ خُلِيْ فِيْ عِبٰدِ يْ ۙ(۲۹)
“Hai jiwa yang
tenang kembalilah kepada tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoinya. Maka
masuklah kedalam jama’ah hamba-hambaku, masuklah kedalam surgaku.” (QS. Al-Fajr[89:
27-30]).
Sedangkan agama berasal dari kata
latin “religio”, yang berarti obligation/kewajiban. Agama dalam
Encyclopedia of philosophy adalah kepercayaan kepada tuhan yang selalu hidup,
yakni kepada jiwa dan kehendak ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai
hubungan moral dengan umat manusia. Agama adalah pengalaman dunia dalam
seseorang tentang ketuhanan disertai keimanan dan peribadatan.
Sedangkan menurut terminologi,
psikologi agama dapat didefinisikan sebagai: “Cabang psikologi yang meneliti
dan mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan pengaruh keyakinan
terhadap agama yang dianutnya serta dalam kaitannya dengan perkembangan usia
masing-masing. Upaya tersebut dilakukan melalui pendekatan psikologi, jadi merupakan
kajian empiris”.
Dalam percakapan sehari-hari, orang
banyak mengaitkan tasawuf dengan unsur kejiwaan dalam diri manusia. Hal ini
cukup beralasan, mengingat dalam substansi pembahasannya, tasawuf selalu
membicarakan persoalan-persoalan yang berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja,
dalam jiwa yang dimaksud adalah jiwa manusia muslim, yang tentunya tidak lepas
dari sentuhan-sentuhan keislaman. Dari sinilah, tasawuf kelihatan identik
dengan unsur kejiwaan manusia muslim.
Mengingat adanya hubungan dan relevansi
yang sangat erat antara spiritualitas (tasawuf) dan ilmu jiwa, terutama ilmu
kesehatan mental, kajian tasawuf tidak dapat lepas dari kajian tentang kejiwaan
manusia itu sendiri.
Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan
tentang hubungan jiwa dan badan. Yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan
antara jiwa dan badan dalam tasawuf tersebut adalah terciptanya keserasian
antara keduanya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi
dalam rangka melihat sejauh mana hubungan perilaku yang dipraktikkan manusia
dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan perbuatan itu dapat
terjadi. Dari sini, baru muncul kategori-kategori perbuatan manusia, apakah
dikategorikan sebagai perbuatan jelek atau perbuatan baik.[12]
Kalau para sufi menekankan unsur
kejiwaan dalam konsepsi tentang manusia, hal itu dapat pula berarti bahwa
hakikat, zat, dan inti kehidupan manusia terletak pada unsur spiritual atau
kejiwaannya. Ditekankannya unsur jiwa dalam konsepsi tasawuf tidak berarti
bahwa para sufi mengabaikan unsur jasmani manusia. Unsur ini juga mereka
pentingkan karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan kewajiban
beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah-Nya di bumi. Seseorang tidak akan
sampai kepada Allah dan beramal dengan baik dan sempurna selama jasmaninya
tidak sehat. Kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan kehidupan rohani yang
baik. Pandangan kaum sufi mengenai jiwa erat hubungannya dengan ilmu kesehatan
mental. Ilmu kesehatan mental ini merupakan bagian dari ilmu jiwa (psikologi).
Dalam masyarakat belakangan ini,
istilah mental tidak asing lagi. Orang-orang dapat menilai apakah seseorang itu
baik mentalnya atau tidak. Dalam ilmu psikiatri dan psikoterapi, kata mental
sering digunakan sebagai nama lain kata personality (kepribadian), yang
berarti bahwa mental adalah semua unsur jiwa, termasuk pikiran, emosi, sikap (attitude),
dan perasaan yang dalam keseluruhan dan kebulatannya akan menentukan corak
laku, cara menghadapi suatu hal yang menekan perasaan, mengecewakan, atau
menggembirakan, menyenangkan, dan sebagainya.
Bagi para ahli di bidang perawatan
jiwa, terutama di negara-negara yang telah maju, masalah mental ini telah
menarik perhatian mereka sampai jauh sekali, sehingga dapat melakukan penelitian-penelitian
ilmiah yang menghubungkan antara kelakuan dan keadaan mental. Mereka telah
menemukan hasil-hasil yang memberikan kesimpulan tegas, yang membagi manusia
pada dua golongan besar, yakni golongan yang sehat dan golongan yang kurang
sehat.
Pada perilaku orang sehat mental
akan tampak sikap yang tidak ambisius, tidak sombong, rendah hati, dan apatis,
tetapi tetap wajar, menghargai orang lain, merasa percaya diri, dan selalu
gesit. Setiap tindak-tanduknya ditujukan untuk mencari kebahagian bersama, bukan
kesenangan dirinya sendiri. Kepandaian dan pengetahuan yang dimilikinya
digunakan untuk meraih manfaat dan kebahagian bersama. Kekayaan dan kekuasaan
yang ada padanya bukan untuk bermegah-megah dan mencari kesenangan sendiri
tanpa mengindahkan orang lain, tetapi digunakan untuk menolong orang miskin dan
melindungi orang lemah.[13]
Sebaliknya, golongan yang kurang
sehat mentalnya sangatlah luas, mulai yang paling ringan sampai yang paling
berat. Dari orang yang merasa terganggu ketentraman hatinya sampai orang yang
sakit jiwa. Gejala umum yang terdapat pada mereka yang kurang sehat dapat
dilihat dalam beberapa segi, yaitu sebagai berikut.
1.
Perasaan: selalu merasa terganggu dan tidak tentram. Ia juga merasa gelisah,
tetapi tidak tentu yang digelisahkan dan tidak dapat pula menghilangkannya (anxiety),
merasa takut secara berlebihan (phobia),
iri, sedih yang tidak beralasan, rendah diri, sombong, suka bergantung
pada orang lain, dan tidak mau bertanggung jawab.
2.
Pikiran: adanya gangguan terhadap kesehatan mental. Gangguan ini dapat
memengaruhi pikiran. Misalnya pada anak-anak, mereka menjadi bodoh disekolah,
pemalas, pelupa, suka membolos, tidak dapat berkonsentrasi. Adapun pada orang
dewasa, adanya perasaan bahwa kecerdasan mereka telah merosot, tidak mampu
melanjutkan sesuatu yang telah direncanakan, mudah dipengaruhi orang lain, dan
apatis.
3.
Kelakuan: pada umumnya muncul kelakuan yang tidak baik, seperti berlaku
nakal, keras kepala, suka berdusta, menipu, menyeleweng, mencuri, menyiksa
orang lain, membunuh dan merampok. Kelakuan ini merupakan akibat dari buruknya
keadaan mental yang menyebabkan orang lain menderita dan haknya teraniaya.
4.
Kesehatan: merasa terganggu bukan karena adanya penyakit jasmani. Meskipun
demikian, ia merasakan sakit dan jiwanya tidak tentram. Penyakit seperti ini
disebut psyco-somatic. Di antara gejala penyakit ini yang sering
terjadi, yaitu keras kepala, lemas, letih, sering masuk angin, tekanan darah
tinggi atau rendah, jantung, sesak nafas, sering pingsan, kejang, lumpuh
sebagian anggota badan, dan lidah kelu. Perlu diperhatikan bahwa penyakit
jasmani ini tidak mempunyai sebab-sebab fisik sama sekali.[14]
Berbagai penyakit seperti dijelaskan
diatas sesungguhnya akan timbul pada diri manusia yang tidak tenang hatinya,
yaitu hati yang jauh dari Tuhannya. Ketidaktenangan itu akan memunculkan
penyakit mental, yang pada gilirannya akan menjelma menjadi perilaku yang tidak
baik dan menyeleweng dari norma-norma umum yang disepakati.
Harus diakui, jiwa manusia
seringkali sakit. Ia tidak akan sehat sempurna tanpa melakukan perjalanan
menuju Allah dengan benar. Jiwa manusia juga membutuhkan perilaku (moral) yang
luhur sebab kebahagiaan tidak akan dapat diraih tanpa akhlak yang luhur, juga
tidak dapat menjadi milik tanpa melakukan perjalanan menuju Allah.
Bagi orang yang dekat dengan
Tuhannya, kepribadiannya tampak tenang dan perilakunya pun terpuji. Semua ini
bergantung pada kedekatan manusia dengan Tuhannya. Pola kedekatan manusia
dengan Tuhan inilah yang menjadi garapan dalam tasawuf. Dari sini tampak
keterkaitan yang erat antara ilmu tasawuf dengan ilmu jiwa. Antara tasawuf
dengan psikologi sama-sama menangani pembinaan kejiwaan manusia agar mereka
memiliki mental yang sehat. Dengan demikian jelaslah bahwa antara tasawuf dan
psikologi memiliki kaitan yang erat dalam menangani kajian-kajian yang
berkenaan dengan kejiwaan manusia.[15]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dengan ilmu tasawuf, semua persoalan
yang berada dalam kajian ilmu tauhid terasa lebih bermakna, tidak kaku, tetapi
akan lebih dinamis dan aplikatif. Kajian-kajian ilmu tauhid akan terasa
bermakna secara rohaniah dengan pendekatan ilmu tasawuf, sehingga keberadaan
ilmu tasawuf sebagai pendamping ilmu tauhid memiliki arti yang penting.
Keberadaan keduanya yang saling melengkapi adalah untuk mendekatkan hamba
kepada Allah.
Dalam memecahkan persoalan, filsafat
menggunakan akal. Sementara itu, tasawuf menggunakan batin, perasaan, dan
kesederhanaan pola pikir dengan perspektif agama. Filsafat dan tasawuf membahas
masalah yang berkaitan dengan ketuhanan.
Bagi orang yang dekat dengan
Tuhannya, kepribadiannya tampak tenang dan perilakunya pun terpuji. Semua ini
bergantung pada kedekatan manusia dengan Tuhannya. Pola kedekatan manusia
dengan Tuhan inilah yang menjadi garapan dalam tasawuf. Dari sini tampak
keterkaitan yang erat antara ilmu tasawuf dengan ilmu jiwa. Antara tasawuf
dengan psikologi sama-sama menangani pembinaan kejiwaan manusia agar mereka
memiliki mental yang sehat. Dengan demikian jelaslah bahwa antara tasawuf dan
psikologi memiliki kaitan yang erat dalam menangani kajian-kajian yang
berkenaan dengan kejiwaan manusia.
B.
Saran
Setelah membaca makalah mengenai
Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam, Filsafat, dan Ilmu Jiwa Agama, diharapkan
untuk tidak pernah puas terhadap makalah yang telah dibuat, karena Tasawuf
memiliki cakupan yang luas, untuk itu pembaca hendak mencari sumber lain.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro. 2007. Filsafat Umum. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Amin, Samsul Munir. 2015. Ilmu Tasawuf. Jakarta: AMZAH.
Anwar, Rosihon. 2009. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka
Setia.
Anwar, Rosihon dan M. Solihin. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustka
Setia.
Rozak, Abdul dan Rosihon
Anwar. 2015. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
[1] Abdul Rozak dan
Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. (Bandung: Pustaka Setia, 2015). Hlm. 21-22.
[2]
Orang banyak
menyebut ilmu kalam dengan istilah teologi, sebuah istilah yang diambil dari
bahasa Inggris “theo” (artinya Tuhan) dan “logos” (artinya ilmu). Jadi, teologi
adalah ilmu tentang ketuhanan. Namun, penyamaan istilah ilmu kalam dengan
teologi tampaknya kurang tepat. Alasannya, istilah ilmu kalam lebih spesifik
bagi umat Islam, sedangkan teologi lebih bermakna luas, bisa mencakup seluruh
agamaselagi masih berbicara tentang ketuhanan. Kalau orang menyebut teologi,
semestinya digandengkan dengan atribut atau keterangan dibelakangnya, misalnya
teologi Islam, teologi Kristen, teologi Yahudi, dan sebagainya.
[3] Rosihon Anwar
dan M. Solihin. Ilmu Tasawuf. (Bandung : Pustaka Setia, 2008). Hlm.
95-96.
[4] Rosihon Anwar. Akhlak
Tasawuf. (Bandung :CV. Pustaka Setia, 2009). Hlm. 100.
[5] Abdul Rozak dan
Rosihon Anwar, op. cit., Hlm. 56-59.
[6] Ibid.
Hlm.59-60.
[7] Asmoro Achmadi.
Filsafat Umum. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 2007. Hlm. 2.
[8] Samsul Munir
Amin. Ilmu Tasawuf. Jakarta : AMZAH. 2015. Hlm. 200.
[9] Fhaturrachmanola,
“Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Filsafat”, diakses dari http://fhaturrachmanola.blogspot.com/2015/10/hubungan-tasawuf-dengan-ilmu-filsafat.html?m=1. Tanggal 29
Oktober 2016 pukul 12:37.
[10] Samsul Munir
Amin, op.cit. Hlm. 201
[11] -, “Hubungan
Tasawuf dengan Filsafat”, diakses dari http://www.rumahbangsa.net/2014/08/hubungan-tasawuf-dengan-ilmu-kalam.html?m=1 Tanggal 29
Oktober 2016 pukul 12:38.
[12]
Rosihon Anwar
dan M. Solihin. Ilmu Tasawuf. Bandung : Pustaka Setia. 2008. Hlm.
104-105.
[13] Rosihon Anwar.
op. cit. Hlm. 109-110.
[14] Samsul Munir
Amin. op. cit. Hlm. 206-207.
[15] Rosihon Anwar.
op.cit. Hlm. 111-112.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar