Assalamu'alaikum.. Selamat Datang di Blog Suci Utari.. Selamat Membaca, Semoga Dapat Memberikan Manfaat.. Mohon Kritik dan Sarannya ^_^

Senin, 08 Mei 2017

HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU KALAM, FILSAFAT, DAN ILMU JIWA AGAMA (PSIKOLOGI AGAMA)

HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU KALAM, FILSAFAT, DAN ILMU JIWA AGAMA (PSIKOLOGI AGAMA)



Dosen Pengampu      : M. Muttaqin, M.Pd.I
Disusun Oleh : Kelompok III
Semester: III PAI B
1.      Billy Muharrom        (2015.01.016)
2.      Darul Nadwan           (2015.01.017)
3.      Suci Utari                   (2015.01.110)


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL-QUR’AN AL-ITTIFAQIAH
INDRALAYA OGAN ILIR SUMATERA SELATAN
TAHUN AKADEMIK 2016-2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahhirobbil’alamin berkat rahmat-Nya dan karunia-Nya yang tak terhingga di limpahkan kepada kita semua sehingga karena itu juga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah untuk mata kuliah Ilmu Tasawuf dengan Dosen Pengampu Ustadzh M. Muttaqin M.Pd.I yang berjudul “Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam, Filsafat, dan Ilmu Jiwa Agama (Psikologi Agama)”.
Tak lupa sholawat serta salam semoga Allah SWT. senantiasa melimpahkan-Nya dan mencurahkan-Nya pada penghulu kami baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya, para sahabatnya, dan kita semua selaku umatnya semoga mendapatkan syafaat di Yaumil Akhir nanti.
Penulis menyadari dalam makalah yang disusun dengan sedemikian rupa belum sempurna seperti yang ada dalam benak dan harapan pembaca semua karena penulis hanya manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
Penulis berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua baik penulis selaku penyusun maupun pembaca.


Indralaya, 29 Oktober 2016


Kelompok III



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................     i
DAFTAR ISI ...........................................................................................     ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah .............................................................       1
B.     Rumusan Masalah ......................................................................       1
C.     Tujuan Penulisan ........................................................................       1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam ..................................         2
B.     Hubungan Tasawuf dengan Filsafat .........................................         5
C.     Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Jiwa Agama ........................          8
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan ..............................................................................          13
B.     Saran ........................................................................................          13
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................         14










BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Islam, sebagaimana dijumpai dalam sejarah, ternyata tidak sesempit yang dipahami pada umumnya. Dalam sejarah terlihat bahwa Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadis dapat berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat luas.
Ilmu-ilmu agama Islam yang timbul pada masyarakat luas itu, antara lain ilmu Al-Qur’an, ilmu hadis, ilmu fiqh-ushul fiqh, ilmu tasawuf, ilmu filsafat Islam, ilmu sejarah Islam, ilmu pendidikan Islam, dan ilmu dakwah.
Tasawuf sebagai sebuah disiplin ilmu keislaman, tidak dapat terlepas dari ilmu-ilmu keislaman lainya, seperti ilmu kalam dan fiqh. Tidak hanya itu, tasawuf juga tidak dapat lepas dari ilmu filsafat dan psikologi agama.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hubungan tasawuf dengan ilmu kalam ?
2.      Bagaimana hubungan tasawuf dengan filsafat ?
3.      Bagaimana hubungan tasawuf dengan ilmu jiwa agama ?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui hubungan tasawuf dengan ilmu kalam
2.      Untuk mengetahui hubungan tasawuf dengan filsafat
3.      Untuk mengetahui hubungan tasawuf dengan ilmu jiwa agama





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam
Al-Farabi mendefinisikan ilmu kalam sebagai berikut:
اَ لْكَلَا مُ عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ ذَاتِ اللهِ تَعَا لَى وَ صِفَا تِهِ وَاَ حْوَا لِ الْمُمْكِنَا تِمِنَ الْمَبْدَاءِوَاالْمَعَا دِ عَلَى قَا نُوْ نِ الْاءِسْلَا مِ وَالْقَيْدِ الْأَ خِيْرِ لِاءِ خْرَا جِ الْعِلْمِالْاءِ ٰلهِيِّ لِلْفَلَا سِفَةِ . . . .
Artinya: “Ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang membahas tentang Dzat dan sifat-sifat Allah serta eksistensi semua yang mukmin, mulai yang berkenaan dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang berlandaskan doktrin Islam. Stressing akhirnya memproduksi ilmu ketuhanan secara filosofis . . . .”.
Ibnu Khaldun mendefinisikan ilmu kalam sebagai berikut:
هُوَ عِلْمٌ يَتَضَمَّنُ الْحُجَّاجَ عَلَى الْعَقَا ئِدِ الْإِ يْمَا نِيَّةِ بِالْأَ دِلَّةِ الْعَقْلِيَّةِ .
Artinya :“Ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang mengandung argumentasi-argumentasi tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dali rasional”.[1]
Ilmu kalam[2] merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan kalam ini biasanya mengarah pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentas, baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Argumentasi rasional yang dimaksudkan adalah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berfikir filosofis. Adapun argumentasi naqliyah biasanya bertendensi pada argumentasi pada dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadis. Ilmu kalam sering menempatkan diri pada kedua pendekatan ini (aqli dan naqli), tetapi dengan metode argumentasi yang dialektik. Jika pembicaraan kalam Tuhan berkisar pada keyakinan-keyakinan yang harus dipegang oleh umat Islam, ilmu ini lebih spesifik mengambil bentuk sendiri dengan istilah ilmu tauhid atau ilmu ‘aqa’id.[3]
Pembicaraan materi-materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan tidak menyentuh dzauq (rasa rohaniah). Sebagai contoh ilmu tauhid menerangkan bahwa Allah bersifat sama’ (mendengar), bashar (melihat), kalam (berbicara), iradah (berkemauan), qudrah (kuasa), hayat (hidup), dan sebagainya. Namun, ilmu kalam atau ilmu tauhid tidak menjelaskan bagaimanakah seorang hamba dapat merasakan langsung bahwa Allah Mendengar dan Melihat. Bagaimana pula perasaan hati seseorang merasa bahwa segala sesuatu yang tercipta merupakan pengaruh dari qudrah (kekuasaan) Allah ?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sulit terjawab dengan hanya melandaskan diri pada ilmu tauhid atau ilmu kalam. Biasanya, yang membicarakan penghayatan sampai pada penanaman kejiwaan manusia adalah ilmu tasawuf. Disiplin inilah yang membahas bagaimana merasakan nilai-nilai akidah dengan memerhatikan bahwa persoalan tadzawwuq ( bagaimana merasakan) tidak saja termasuk dalam lingkup hal yang sunnah atau dianjurkan, tetapi justru termasuk hal yang diwajibkan.[4]
As-Sunnah memnerikan perhatian yang begitu besar terhadap masalah tadzawwuq, seperti hadis Rasul yang dikutip Said Hawwa, “Yang merasakan iman adalah orang yang rida kepada Allah sebagai Tuhan, rida kepada Islam sebagai agama, dan rida kepada Muhammad sebagai Nabi dan Rasul”.
Dalam hadis lain, Rasulullah pun pernah mengungkapkan, “Ada tiga perkara seseorang dapat merasakan lezatnya iman: orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari yang lain; orang yang mencintai hamba karena Alllah; dan orang yang takut kembali pada kekufuran, seperti ketakutannya untuk dimasukkan ke dalam api neraka”.
Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya. Sementara pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman, sebagaimana dijelaskan juga tentang menyelamatkan diri dari kemunafikan. Semua itu tidak cukup hanya diketahui batasan-batasannya oleh seseorang. Sebab, terkadang seseorang sudah mengetahui batasan-batasan kemunafikan, tetapi tetap melaksanakannya. Allah berfirman :
قَا لَتِ الْاَ عْرَا بُ اٰ مَنَّا ۗ  قُلْ لَمْ تُؤْ مِنُوْا وَلٰكِنْ قُوْ لُوْآ اَسْلَمْنَا وَ لَمَّا يَدْ خُلِ الْاِ يْمَا نُ فِيْ قُلُوْ بِكُمْ ۗ  . .
Artinya : “Orang-orang Arab Badui berkata, ‘Kami telah beriman’. Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman’, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk (Islam)’ karena iman belum masuk kedalam hatimu’. (Q.S. Al-Hujurat [49]: 14)
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf berfungsi sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam melalui hati (dzauq dan wijdan) terhadap ilmu tauhid atau ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu tasawuf merupakan sisi terapan rohaniah dari ilmu tauhid.
Ilmu kalam pun berfungsi sebagai pengendali ilmu tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul aliran yang bertentangan akidah, atau lahir kepercayaan baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan. Jika bertentangan atau tidak pernah diriwayatkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau belum pernah diriwayatkan oleh ulama-ulama salaf, hal itu harus ditolak.
Selain itu, ilmu tasawuf mempunyai fungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatan-perdebatan kalam. Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi ilmu yang mengandung muatan rasional di samping muatan naqliah. Jika tidak diimbangi dengan kesadaran rohaniah, ilmu kalam akan bergerak ke arah yang lebih liberal dan bebas. Di sinilah ilmu tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah sehingga ilmu kalam tidak dikesankan dialektika keislaman belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan secara qabliyah (hati).[5]
Bagaimanapun amalan-amalan tasawuf mempunyai pengaruh yang besar dalam ketauhidan. Jika rasa sabar tidak ada, muncullah kekufuran. Jika rasa syukur sedikit, lahirlah bentuk kegelapan sebagai reaksi. Begitu juga ilmu tauhid dapat memberi kontribusi pada ilmu tasawuf. Sebagai contoh, jika cahaya tauhid telah lenyap, akan timbul penyakit-penyakit kalbu, seperti ujub, congkak, riya’, dengki, hasud, dan sombong. Apabila manusia sadar bahwa Allah yang memberi, niscaya rasa hasud dan dengki akan sirna. Jika dia mengetahui kedudukan penghambaan diri, niscaya tidak akan ada rasa sombong dan membanggakan diri. Jika manusia sadar bahwa dia betul-betul hamba Allah, niscaya tidak akan ada perebutan kekuasaan. Jika manusia sadar bahwa Allah pencipta segala sesuatu, niscaya tidak akan ada sifat ujub dan riya’. Dari sinilah dapat dilihat bahwa ilmu tauhid merupakan jenjang pertama dalam pendakian menuju Allah (pendakian kaum sufi).
Dengan ilmu tasawuf, semua persoalan yang berada dalam kajian ilmu tauhid terasa lebih bermakna, tidak kaku, tetapi akan lebih dinamis dan aplikatif.[6]
B.     Hubungan Tasawuf dengan Filsafat
Menurut al-Farabi, filsafat adalah ilmu yang menyelidiki hakikat yang sebenarnya dari segala yang ada (al-ilmu bil-maujudat bi ma hiya al-maujudat).[7]
Filsafat dilihat dari pengertian praktisnya adalah alam pikiran. Berfilsafat artinya berfikir. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan bersungguh-sungguh.
Menurut Oemar Amin Hoesin, ilmu memberi pengetahuan. Sementara itu, filsafat memberikan hikmah dan kepuasan kepada keinginan manusia akan kebenaran yang tersusun dengan tertib.[8]
Sebenarnya Al – Qur’an mendukung adanya filsafat yang ditandai dengan adanya ayat – ayat Al – Qur’an yang menyuruh manusia untuk menggunakan logikanya untuk berpikir dan berenung. Berikut adalah sebagian dari ayat – ayat Al – Qur’an nya yang menganjurkan :
اَفَلمْ يَنْظُرُوْآ ااِلَى السَّمَآ ءِفَوْ قَهُمْ كَيْفَ بَنَيْنٰهاَ وَزَيَّنّٰهَا وَمَا لَهَا مِنْ فُرُوْ جٍ ۙ (٦)
وَالْاَرْضِ مَدَ دْ نٰهَا وَاَلْقَيْنَا فِيْهَا رَوَا سِيَ وَاَنْبَۘتْنَا فِيْهَا مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَۘهِيْجٍۙ (۷)
Artinya: “Maka tidaklah memperhatikan langit yang ada diatas mereka, bagaimana cara kami membangunnya dan menghiasinya, dan tidak terdapat retak-retak sedikit pun?. Dan bumi yang Kami hamparkan dan Kami pancangkan di atasnya gunung-gunung yang kokoh, dan Kami tumbuhkan di atasnya tanam-tanaman yang indah. (Q.S. Qaf [50: 6-7])
فَلْيَنْظُرِالْاِنْسَا نُ مِمَّ خُلِقَ(۵)خُلِقَ مِنْ مَّآءٍ دَافِقٍ(٦) يَّخْرُجُ مِنْ بَۘيْنِالصُّلْبِ وَالتَّرَأ ئِبِ ۗ (۷)
Artinya: “Maka hendaklah manusia memerhatikan dari apa dia diciptakan. Dia diciptakan dari air (mani) yang terpancar,. Yang keluar dari antara tulang punggung (sulbi) dan tulang dada. (Q.S. At-Tāriq [86: 5-7])
Ayat–ayat tersebut mengandung perintah agar manusia memperhatikan, merenungkan dan memikirkan tentang segala sesuatu, diantaranya adalah langit, pencipta manusia, laut yang dapat dilayari dan sebagainya. Dengan demikian Al–Qur’an memerintahkan kepada manusia agar mempelajari filsafat, karena manusia harus membuat spekulasi atas alam raya ini dan merenungkan segala sesuatu yang ada.
Biasanya tasawuf dan filsafat selalu dipandang berlawanan. Ada juga anggapan bahwa pencarian jalan tasawuf mengharuskan pencelaan filsafat, tidak hanya berupa timbal balik dan saling mempengaruhi, bahkan asimilasi (perpaduan) dan hubungan ini sama sekali tidak terbatas pada kebencian dan permusuhan. Tasawuf adalah pencarian jalan ruhani, kebersatuan dengan kebenaran mutlak dan pengetahuan mistik menurut jalan dan sunnah. Sedangkan filsafat tidak dimaksudkan hanya filsafat peripatetic rasionalistik, tetapi seluruh mazhab intelektual dalam kultur Islam yang telah berusaha mencapai pengetahuan mengenai sebab awal melalui daya intelek.[9]
Dalam memecahkan persoalan, filsafat menggunakan akal. Sementara itu, tasawuf menggunakan batin, perasaan, dan kesederhanaan pola pikir dengan perspektif agama.
Ilmu tasawuf yang berkembang di dunia Islam tidak dapat dinafikan dari sumbangan pemikiran kefilsafatan. Ini dapat dilihat, misalnya, dalam kajian-kajian tasawuf yang berbicara tentang jiwa. Secara jujur harus diakui bahwa terminologi jiwa dan roh itu sendiri sesungguhnya terminologi yang banyak dikaji dalam pemikiran-pemikiran filsafat. Sederetan intelektual muslim ternama yang mengkaji tentang jiwa dan roh, di antaranya Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali.
Kajian-kajian mereka tentang jiwa dalam pendekatan kefilsafatan ternyata lebih banyak memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kesempurnaan kajian tawasuf dalam dunia Islam. Pemahaman tentang jiwa dan roh itu sendiri menjadi hal yang esensial. Kajian-kajian kefilsafatan tentang hal tersebut. Kemudian banyak dikembangkan. Namun, perlu juga dicatat bahwa istilah yang lebih banyak dikembangkan adalah istilah qalb (hati). Istilah ini memang spesifik dikembangkan dalam tasawuf. Namun, tidak berarti bahwa istilah ini tidak berpengaruh dengan roh dan jiwa.[10]
Menurut sebagian ahli tasawuf, nafs (jiwa) adalah roh setelah bersatu dengan jasad. Penyatuan roh dan jasad melahirkan pengaruh yang ditimbulkan oleh jasad terhadap roh. Pengaruh-pengaruh ini akhirnya memunculkan kebutuhan-kebutuhan jasad yang dibangun roh. Jika jasad tidak memiliki tuntutan-tuntutan yang tidak sehat dan tidak terdapat pengekangan nafsu, sedangkan hati tetap sehat; maka tuntutan jiwa terus berkembang dan jasad menjadi binasa karena melayani jiwa.[11]
C.    Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Jiwa Agama
Psikologi agama terdiri dari dua kata yaitu psikologi dan agama yang menurut bahasa, Psikologi berasal dari bahasa yunani yaitu “Psyche” dan “logos”. “Psyche” yang artinya jiwa dan “logos” yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa baik mengenai macam-macam gejalanya, proses maupun latarbelakang.
Psikologi secara etimologi mengandung arti ilmu tentang jiwa. Dalam islam kata jiwa disamakan dengan “an-nafsu” namun ada juga yang menyamakan dengan istilah“ar-ruh”. Tetapi istilah “an-nafsu” lebih  فpopuler dari pada istilah “ar-ruh”, karena psikologi dalam bahasa arab lebih populer diterjemahkan dengan ilmu an-nafsu dari pada ilmu ar-ruh. Dalam al-quran surat al-fajr ayat 27-30 disebutkan, kata an-nafsu berarti jiwa:
يٰآَ يَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنّةُ ۙ (۲۷) ارْجِعِيْ اِلٰى رَبِّكِ رَا ضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ (۲۸) فَادْ خُلِيْ فِيْ عِبٰدِ يْ ۙ(۲۹)
 “Hai jiwa yang tenang kembalilah kepada tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoinya. Maka masuklah kedalam jama’ah hamba-hambaku, masuklah kedalam surgaku.” (QS. Al-Fajr[89: 27-30]).
Sedangkan agama berasal dari kata latin “religio”, yang berarti obligation/kewajiban. Agama dalam Encyclopedia of philosophy adalah kepercayaan kepada tuhan yang selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat manusia. Agama adalah pengalaman dunia dalam seseorang tentang ketuhanan disertai keimanan dan peribadatan.
Sedangkan menurut terminologi, psikologi agama dapat didefinisikan sebagai: “Cabang psikologi yang meneliti dan mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya serta dalam kaitannya dengan perkembangan usia masing-masing. Upaya tersebut dilakukan melalui pendekatan psikologi, jadi merupakan kajian empiris”.
Dalam percakapan sehari-hari, orang banyak mengaitkan tasawuf dengan unsur kejiwaan dalam diri manusia. Hal ini cukup beralasan, mengingat dalam substansi pembahasannya, tasawuf selalu membicarakan persoalan-persoalan yang berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja, dalam jiwa yang dimaksud adalah jiwa manusia muslim, yang tentunya tidak lepas dari sentuhan-sentuhan keislaman. Dari sinilah, tasawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan manusia muslim.
Mengingat adanya hubungan dan relevansi yang sangat erat antara spiritualitas (tasawuf) dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak dapat lepas dari kajian tentang kejiwaan manusia itu sendiri.
Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dan badan. Yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam tasawuf tersebut adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat sejauh mana hubungan perilaku yang dipraktikkan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini, baru muncul kategori-kategori perbuatan manusia, apakah dikategorikan sebagai perbuatan jelek atau perbuatan baik.[12]
Kalau para sufi menekankan unsur kejiwaan dalam konsepsi tentang manusia, hal itu dapat pula berarti bahwa hakikat, zat, dan inti kehidupan manusia terletak pada unsur spiritual atau kejiwaannya. Ditekankannya unsur jiwa dalam konsepsi tasawuf tidak berarti bahwa para sufi mengabaikan unsur jasmani manusia. Unsur ini juga mereka pentingkan karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan kewajiban beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah-Nya di bumi. Seseorang tidak akan sampai kepada Allah dan beramal dengan baik dan sempurna selama jasmaninya tidak sehat. Kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan kehidupan rohani yang baik. Pandangan kaum sufi mengenai jiwa erat hubungannya dengan ilmu kesehatan mental. Ilmu kesehatan mental ini merupakan bagian dari ilmu jiwa (psikologi).
Dalam masyarakat belakangan ini, istilah mental tidak asing lagi. Orang-orang dapat menilai apakah seseorang itu baik mentalnya atau tidak. Dalam ilmu psikiatri dan psikoterapi, kata mental sering digunakan sebagai nama lain kata personality (kepribadian), yang berarti bahwa mental adalah semua unsur jiwa, termasuk pikiran, emosi, sikap (attitude), dan perasaan yang dalam keseluruhan dan kebulatannya akan menentukan corak laku, cara menghadapi suatu hal yang menekan perasaan, mengecewakan, atau menggembirakan, menyenangkan, dan sebagainya.
Bagi para ahli di bidang perawatan jiwa, terutama di negara-negara yang telah maju, masalah mental ini telah menarik perhatian mereka sampai jauh sekali, sehingga dapat melakukan penelitian-penelitian ilmiah yang menghubungkan antara kelakuan dan keadaan mental. Mereka telah menemukan hasil-hasil yang memberikan kesimpulan tegas, yang membagi manusia pada dua golongan besar, yakni golongan yang sehat dan golongan yang kurang sehat.
Pada perilaku orang sehat mental akan tampak sikap yang tidak ambisius, tidak sombong, rendah hati, dan apatis, tetapi tetap wajar, menghargai orang lain, merasa percaya diri, dan selalu gesit. Setiap tindak-tanduknya ditujukan untuk mencari kebahagian bersama, bukan kesenangan dirinya sendiri. Kepandaian dan pengetahuan yang dimilikinya digunakan untuk meraih manfaat dan kebahagian bersama. Kekayaan dan kekuasaan yang ada padanya bukan untuk bermegah-megah dan mencari kesenangan sendiri tanpa mengindahkan orang lain, tetapi digunakan untuk menolong orang miskin dan melindungi orang lemah.[13]
Sebaliknya, golongan yang kurang sehat mentalnya sangatlah luas, mulai yang paling ringan sampai yang paling berat. Dari orang yang merasa terganggu ketentraman hatinya sampai orang yang sakit jiwa. Gejala umum yang terdapat pada mereka yang kurang sehat dapat dilihat dalam beberapa segi, yaitu sebagai berikut.
1.      Perasaan: selalu merasa terganggu dan tidak tentram. Ia juga merasa gelisah, tetapi tidak tentu yang digelisahkan dan tidak dapat pula menghilangkannya (anxiety), merasa takut secara berlebihan (phobia),  iri, sedih yang tidak beralasan, rendah diri, sombong, suka bergantung pada orang lain, dan tidak mau bertanggung jawab.
2.      Pikiran: adanya gangguan terhadap kesehatan mental. Gangguan ini dapat memengaruhi pikiran. Misalnya pada anak-anak, mereka menjadi bodoh disekolah, pemalas, pelupa, suka membolos, tidak dapat berkonsentrasi. Adapun pada orang dewasa, adanya perasaan bahwa kecerdasan mereka telah merosot, tidak mampu melanjutkan sesuatu yang telah direncanakan, mudah dipengaruhi orang lain, dan apatis.
3.      Kelakuan: pada umumnya muncul kelakuan yang tidak baik, seperti berlaku nakal, keras kepala, suka berdusta, menipu, menyeleweng, mencuri, menyiksa orang lain, membunuh dan merampok. Kelakuan ini merupakan akibat dari buruknya keadaan mental yang menyebabkan orang lain menderita dan haknya teraniaya.
4.      Kesehatan: merasa terganggu bukan karena adanya penyakit jasmani. Meskipun demikian, ia merasakan sakit dan jiwanya tidak tentram. Penyakit seperti ini disebut psyco-somatic. Di antara gejala penyakit ini yang sering terjadi, yaitu keras kepala, lemas, letih, sering masuk angin, tekanan darah tinggi atau rendah, jantung, sesak nafas, sering pingsan, kejang, lumpuh sebagian anggota badan, dan lidah kelu. Perlu diperhatikan bahwa penyakit jasmani ini tidak mempunyai sebab-sebab fisik sama sekali.[14]
Berbagai penyakit seperti dijelaskan diatas sesungguhnya akan timbul pada diri manusia yang tidak tenang hatinya, yaitu hati yang jauh dari Tuhannya. Ketidaktenangan itu akan memunculkan penyakit mental, yang pada gilirannya akan menjelma menjadi perilaku yang tidak baik dan menyeleweng dari norma-norma umum yang disepakati.
Harus diakui, jiwa manusia seringkali sakit. Ia tidak akan sehat sempurna tanpa melakukan perjalanan menuju Allah dengan benar. Jiwa manusia juga membutuhkan perilaku (moral) yang luhur sebab kebahagiaan tidak akan dapat diraih tanpa akhlak yang luhur, juga tidak dapat menjadi milik tanpa melakukan perjalanan menuju Allah.
Bagi orang yang dekat dengan Tuhannya, kepribadiannya tampak tenang dan perilakunya pun terpuji. Semua ini bergantung pada kedekatan manusia dengan Tuhannya. Pola kedekatan manusia dengan Tuhan inilah yang menjadi garapan dalam tasawuf. Dari sini tampak keterkaitan yang erat antara ilmu tasawuf dengan ilmu jiwa. Antara tasawuf dengan psikologi sama-sama menangani pembinaan kejiwaan manusia agar mereka memiliki mental yang sehat. Dengan demikian jelaslah bahwa antara tasawuf dan psikologi memiliki kaitan yang erat dalam menangani kajian-kajian yang berkenaan dengan kejiwaan manusia.[15]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dengan ilmu tasawuf, semua persoalan yang berada dalam kajian ilmu tauhid terasa lebih bermakna, tidak kaku, tetapi akan lebih dinamis dan aplikatif. Kajian-kajian ilmu tauhid akan terasa bermakna secara rohaniah dengan pendekatan ilmu tasawuf, sehingga keberadaan ilmu tasawuf sebagai pendamping ilmu tauhid memiliki arti yang penting. Keberadaan keduanya yang saling melengkapi adalah untuk mendekatkan hamba kepada Allah.
Dalam memecahkan persoalan, filsafat menggunakan akal. Sementara itu, tasawuf menggunakan batin, perasaan, dan kesederhanaan pola pikir dengan perspektif agama. Filsafat dan tasawuf membahas masalah yang berkaitan dengan ketuhanan.
Bagi orang yang dekat dengan Tuhannya, kepribadiannya tampak tenang dan perilakunya pun terpuji. Semua ini bergantung pada kedekatan manusia dengan Tuhannya. Pola kedekatan manusia dengan Tuhan inilah yang menjadi garapan dalam tasawuf. Dari sini tampak keterkaitan yang erat antara ilmu tasawuf dengan ilmu jiwa. Antara tasawuf dengan psikologi sama-sama menangani pembinaan kejiwaan manusia agar mereka memiliki mental yang sehat. Dengan demikian jelaslah bahwa antara tasawuf dan psikologi memiliki kaitan yang erat dalam menangani kajian-kajian yang berkenaan dengan kejiwaan manusia.
B.     Saran
Setelah membaca makalah mengenai Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam, Filsafat, dan Ilmu Jiwa Agama, diharapkan untuk tidak pernah puas terhadap makalah yang telah dibuat, karena Tasawuf memiliki cakupan yang luas, untuk itu pembaca hendak mencari sumber lain.

DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro. 2007. Filsafat Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Amin, Samsul Munir. 2015. Ilmu Tasawuf. Jakarta: AMZAH.
Anwar, Rosihon. 2009. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia.
Anwar, Rosihon dan M. Solihin. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustka Setia.
Rozak,  Abdul dan Rosihon Anwar. 2015. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.





[1] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. (Bandung: Pustaka Setia, 2015). Hlm. 21-22.
[2] Orang banyak menyebut ilmu kalam dengan istilah teologi, sebuah istilah yang diambil dari bahasa Inggris “theo” (artinya Tuhan) dan “logos” (artinya ilmu). Jadi, teologi adalah ilmu tentang ketuhanan. Namun, penyamaan istilah ilmu kalam dengan teologi tampaknya kurang tepat. Alasannya, istilah ilmu kalam lebih spesifik bagi umat Islam, sedangkan teologi lebih bermakna luas, bisa mencakup seluruh agamaselagi masih berbicara tentang ketuhanan. Kalau orang menyebut teologi, semestinya digandengkan dengan atribut atau keterangan dibelakangnya, misalnya teologi Islam, teologi Kristen, teologi Yahudi, dan sebagainya.
[3] Rosihon Anwar dan M. Solihin. Ilmu Tasawuf. (Bandung : Pustaka Setia, 2008). Hlm. 95-96.
[4] Rosihon Anwar. Akhlak Tasawuf. (Bandung :CV. Pustaka Setia, 2009). Hlm. 100.
[5] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, op. cit., Hlm. 56-59.
[6] Ibid. Hlm.59-60.
[7] Asmoro Achmadi. Filsafat Umum. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 2007. Hlm. 2.
[8] Samsul Munir Amin. Ilmu Tasawuf. Jakarta : AMZAH. 2015. Hlm. 200.
[9] Fhaturrachmanola, “Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Filsafat”, diakses dari http://fhaturrachmanola.blogspot.com/2015/10/hubungan-tasawuf-dengan-ilmu-filsafat.html?m=1. Tanggal 29 Oktober 2016 pukul 12:37.
[10] Samsul Munir Amin, op.cit. Hlm. 201
[11] -, “Hubungan Tasawuf dengan Filsafat”, diakses dari http://www.rumahbangsa.net/2014/08/hubungan-tasawuf-dengan-ilmu-kalam.html?m=1 Tanggal 29 Oktober 2016 pukul 12:38.
[12] Rosihon Anwar dan M. Solihin. Ilmu Tasawuf. Bandung : Pustaka Setia. 2008. Hlm. 104-105.
[13] Rosihon Anwar. op. cit. Hlm. 109-110.
[14] Samsul Munir Amin. op. cit. Hlm. 206-207.
[15] Rosihon Anwar. op.cit. Hlm. 111-112.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi Yakinlah

  Yakinlah Oleh : Suci Utari   Masih ingat masalah di akhir tahun kemarin? Saat itu dilematis sekali mencerup hawa bening Laksana ...