SEJARAH
PERADABAN ISLAM
DINASTI ABBASIYAH DAN PUNCAK KEJAYAAN ISLAM DI BAGHDAD
(I)
Dosen
Pengampu : Firdaus. K, S.Pd.I, M.A
Disusun
Oleh :
Nama
: Suci utari
NIM
: 2015.01.110
Kelas
: PAI B
Semester
: III
Reguler A
SEKOLAH
TINGGI ILMU TARBIYAH AL-QUR’AN AL-ITTIFAQIAH
INDRALAYA
OGAN ILIR SUMATERA SELATAN
TAHUN
AKADEMIK 2016/2017
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillahhirobbil’alamin
berkat rahmat-Nya dan karunia-Nya
yang tak terhingga di limpahkan kepada kita
semua sehingga karena itu juga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah untuk mata
kuliah Sejarah Peradaban Islam dengan Dosen Pengampu Ustadzh
Firdaus. K, S.Pd.I, M.A yang berjudul “Dinasti Abbasiyah dan
Puncak Kejayaan Islam di Baghdad (I)”.
Tak
lupa sholawat serta salam semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan-Nya
dan mencurahkan-Nya pada penghulu kami baginda Nabi Muhammad
SAW, beserta keluarganya, para
sahabatnya, dan kita semua selaku umatnya semoga
mendapatkan syafaat di Yaumil Akhir nanti.
Penulis menyadari
dalam makalah yang penulis susun dengan sedemikian rupa belum
sempurna seperti yang ada dalam benak dan harapan pembaca
semua karena “Tak ada gading yang
tak retak” penulis hanya manusia biasa yang tak luput dari
salah dan dosa karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
Penulis
berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua baik penulis selaku
penyusun maupun pembaca .
Indralaya, 18 November 2016
Suci Utari
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL
.............................................................................. i
KATA
PENGANTAR ………………………………………………...
ii
DAFTAR
ISI …………………………………………………………...
iii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………... 1
C. Tujuan Penulisan ………………………………………………. 1
BAB
II PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Peristiwa ..............…………………………….. 2
B. Para Khalifah Dinasti Abbasiyah ...…....……………………..... 4
C. Peninggalan Dinasti Abbasiyah………..……………………..... 6
D. Masa Kejayaan Islam di Baghdad ……………....………...….. 9
E. Kemajuan dan Kemunduran Dinasti Abbasiyah …………..…. 10
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………….... 16
B. Saran ………………………………………………………….. 16
DAFTAR
PUSTAKA …………………………………………….....
17
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Peradaban Islam mengalami puncak
kejayaan pada masa daulah Abbasiyah. Perkembangan ilmu pengetahuan sangat maju
yang diawali dengan penerjemahan naskah asing terutama yang berbahasa Yunani ke
dalam bahasa Arab, pendirian pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan dan
terbentuknya mazhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan
berfikir. Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang paling berhasil
dalam mengembangkan peradaban Islam. Para ahli sejarah tidak meragukan
hasil kerja para pakar pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah dalam memajukan
ilmu pengetahuan dan peradaban Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa latar belakang peristiwa pada masa Dinasti Abbasiyah ?
2.
Siapa saja para khalifah pada masa Dinasti Abbasiyah ?
3.
Apa saja peninggalan dari Dinasti Abbasiyah ?
4.
Bagaimana masa kejayaan Islam di Baghdad ?
5.
Apa saja kemajuan dan faktor penyebab mundurnya Dinasti Abbassiyah
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui latar belakang peristiwa pada masa Dinasti Abbasiyah
2.
Untuk mengetahui para khalifah pada masa Dinassti Abbasiyah
3.
Untuk mengetahui peninggalan dari Dinasti Abbasiyah
4.
Untuk mengetahui masa kejayaan Islam di Baghdad
5.
Untuk mengetahui kemajuan dan faktor penyebab mundurnya Dinasti Abbasiyah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Peristiwa pada Masa Dinasti Abbasiyah
Pemerintahan Dinasti Abbasiyah
dinisbatkan kepada Al-Abbas, paman Rasulullah saw., sementara khalifah pertama
dari pemerintahan ini adalah Abdullah Ash-Shaffah bin Muhammad bin Ali bin
Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib.[1]
Dinasti Abbasiyah didirikan pada
tahun 132 H/750 M, oleh Abul Abbas Ash-Shafah, dan sekaligus sebagai khalifah
pertama. Kekuasaan Dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang
panjang, yaitu selama lima abad dari tahun 132-656 H (750 M-1258 M). Berdirinya
pemerintahan ini dianggap sebagai kemenangan pemikiran yang pernah
dikumandangkan oleh Bani Hasyim (Alawiyun) setelah meninggalnya Rasulullah
dengan mengatakan bahwa yang berhak untuk berkuasa adalah keturunan Rasulullah
dan anak-anaknya.[2]
Sebelum berdirinya Dinasti
Abbasiyah terdapat tiga poros utama yang merupakan pusat kegiatan, antara satu
dengan yang lain memiliki kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk
menegakkan kekuasaan keluarga besar paman Rasulullah SAW., Abbas bin Abdul
Muthalib. Dari nama al-Abbas paman Rasulullah inilah nama ini disandarkan pada
tiga tempat pusat kegiatan, yaitu Humaimah, Kufah, dan Khurasan. Humaimah
merupakan tempat yang tenteram, bermukim di kota itu keluarga Bani Hasyim, baik
dari kalangan pendukung Ali maupun keluarga Abbas. Kufah merupakan wilayah yang
penduduknya menganut aliran Syi’ah, pendukung Ali bin Abi Thalib, yang selalu
bergolak dan ditindas oleh Bani Umayyah. Khurasan memiliki warga yang pemberani,
kuat fisik, teguh pendirian, tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah
bingung terhadap kepercayaan yang menyimpang, di sanalah diharapkan dakwah kaum
Abbasiyah mendapat dukungan.
Propaganda Abbasiyah dilaksanakan
dengan strategi yang cukup matang sebagai gerakan rahasia. Akan tetapi, Imam
Ibrahim pemimpin Abbasiyah yang berkeinginan mendirikan kekuasaan Abbasiyah,
gerakannya diketahui oleh khalifah Umayyah terakhir, Marwan bin Muhammad.
Ibrahim akhirnya tertangkap oleh pasukan Dinasti Umayyah dan dipenjarakan di
Haran sebelum akhirnya dieksekusi. Ia mewasiatkan kepada adiknya Abul Abbas
untuk menggantikan kedudukannya ketika tahu bahwa ia akan terbunuh, dan
memerintahkan untuk pindah ke Kufah. Sedangkan pemimpin propaganda dibebankan
kepada Abu Salamah. Segeralah Abul Abbas pindah dari Humaimah ke Kufah diiringi
oleh para pembesar Abbasiyah yang lain seperti Abu Ja’far, Isa bin Musa, dan
Abdullah bin Ali.
Penguasa Umayyah di Kufah, Yazid
bin Umar bin Hubairah, ditaklukkan oleh Abbasiyah dan diusir ke Wasit. Abu
Salamah selanjutnya berkemah di Kufah yang telah ditaklukkan pada tahun 132 H.
Abdullah bin Ali, salah seorang paman Abul Abbas diperintahkan untuk mengejar
khalifah Umayyah terakhir, Marwan bin Muhammad bersama pasukannya yang
melarikan diri, di mana akhirnya dapat dipukul di dataran rendah Sungai Zab.
Pengejaran dilanjutkan ke Mausul, Harran dan meyeberangi sungai Eufrat sampai
ke Damaskus. Khalifah itu melarikan diri hingga ke Fustat di Mesir, dan
akhirnya terbunuh di Busir, wilayah Al-Fayyum, tahun 13 H/750 M di bawah
pimpinan Salih bin ali, seorang paman Al-Abbas yang lain. Dengan demikian, maka
tumbanglah kekuasaan Dinasti Umayyah, dan berdirilah Dinasti Abbasiyah yang
dipimpin oleh khalifah pertamanya, yaitu Abul Abbas Ash-Shaffah dengan pusat
kekuasaan awalnya di Kufah.[3]
B.
Para Khalifah Dinasti Abbasiyah
1.
Tiga Dinasti dalam Daulah Abbasiyah
Menurut asal usul penguasa selama
masa 508 tahun Daulah Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa. Yaitu
Bani Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Seljuk, seperti tersebut di bawah ini.
Kenyataan itu menunjukkan bahwa masa pemerintahan itu diwarnai oleh intrik
istana maupun perebutan kekuasaan secara internal.
a.
Bani Abbas (750-932 M)
1)
Abul Abbas As-Shaffah. (Pendiri) 749-754
M
2)
Abu Ja’far Al-Manshur 754-775
M
3)
Abu Abdullah Muhammad Al-Mahdi 775-785
M
4)
Abu Muhammad Musa Al-Hadi 785-786
M
5)
Abu Ja’far Harun Ar-Rasyid 786-809
M
6)
Abu Musa Muhammad Al-Amin 809-813 M
7)
Abu Ja’far Abdullah Al-Ma’mun 813-833 M
8)
Abu Ishaq Muhammad Al-Mu’tashim 833-842
M
9)
Abu Ja’far Harun Al-Watsiq 842-847
M
10) Abu Fadl Ja’far Al-Mutawakil 847-861 M
11) Abu Ja’far Muhammad Al-Muntashir 861-862 M
12) Abul Abbas Ahmad Al-Musta’in 862-866 M
13) Abu Abdullah Muhammad Al-Mu’taz 866-869 M
14) Abu Ishaq Muhammad Al-Muhtadi 869-870 M
15) Abul Abbas Ahmad Al-Mu’tamid 870-892 M
16) Abul Abbas Ahmad Al-Mu’tadid 892-902 M
17) Abul Muhammad Ali Al-Muktafi 902-905 M
18) Abul Fadl Ja’far Al-Muqtadir 905-932 M[4]
b.
Bani Buwaihi (932-1075 M)
19) Abu Mansur Muhammad Al-Qahir 932-934 M
20) Abul Abbas Ahmad Ar-Radi 934-940
M
21) Abu Ishaq Ibrahim Al-Muttaqi 940-944 M
22) Abul Qasim Abdullah Al-Mustaqfi 944-946 M
23) Abul Qasim Al-Fadl Al-Mu’ti 946-974 M
24) Abu Fadl Abdul Karim At-Thai 974-991 M
25) Abul Abbas Ahmad Al-Qadir 991-1031
M
26) Abu Ja’far Abdullah Al-Qasim 1031-1075 M
c.
Bani Seljuk (1075-1258 M)
27) Abul Qasim Abdullah Al-Muqtadi 1075-1094 M
28) Abul Abbas Ahmad Al-Mustadzir 1094-1118 M
29) Abu Manshur Al-Fadl Al-Mustarsyid 1118-1135 M
30) Abu Ja’far Al-Mansur Ar-Rasyid 1135-1136 M
31) Abu Abdullah Muhammad Al-Muqtafi 1136-1160 M
32) Abul Mudzafar Al-Mustanjid 1160-1170 M
33) Abu Muhammad Al-Hasan Al-Mustadi 1170-1180 M
34) Abu Al-Abbas Ahmad An-Nasir 1180-1225 M
35) Abu Nasr Muhammad Az-Zahir 1225-1226 M
36) Abu Ja’far Al-Mansur Al-Mustansir 1226-1242 M
37) Abu Ahmad Abdullah Al-Mu’tashim Billah 1242-1258 M.[5]
2.
Khalifah yang Ada di Mesir
Pada masa bangsa Mongol dapat menaklukkan Baghdad tahun
656 H/1258 M, ada seorang pangeran keturunan Abbasiyah yang lolos dari
pembunuhan dan meneruskan kekhalifahan dengan gelar khalifah yang hanya
berkuasa di bidang keagamaan di bawah kekuasaan kaum Mamluk di Kairo, Mesir
tanpa kekuasaan duniawi yang bergelar Sultan. Jabatan khalifah yang disandang
oleh keturunan Abbasiyah di Mesir berakhir dengan diambilnya jabatan itu oleh
Sultan Salim I dari Turki Usmani ketika menguasai Mesir pada tahun 1517 M.
Dengan demikian, hilanglah kekhalifahan Abbasiyah untuk selama-lamanya.
Para khalifah Bani Abbasiyah yang ada di Mesir adalah
sebagai berikut.
1.
Al-Muntashir 1261-1261
M
2.
Al-Hakim I 1261-1302
M
3.
Al-Mustakfi 1302-1340
M
4.
Al-Wasiq 1340-1341 M
5.
Al-Hakim II 1341-1352
M
6.
Al-Mutadid I 1352-1362
M
7.
Al-Mutawakkil I 1362-1377 M
8.
Al-Mu’tashim 1377-1377
M
9.
Al-Mutawakkil I 1377-1383 M
10. Al-Watsiq II 1383-1386
M
11. Al-Mu’tashim 1386-1389
M
12. Al-Mutawakkil I 1389-1406 M
13. Al-Musta’in 1406-1414
M
14. Al-Mu’tadid 1414-1441
M
15. Al-Mustakfi II 1441-1451
M
16. Al-Qaim 1451-1455 M
17. Al-Mustanjid 1455-1479
M
18. Al-Mutawakkil II 1479-1497 M
19. Al-Mustamsik 1497-1508
M
20. Al-Mutawakkil III 1508-1516 M
21. Al-Mustamsik 1516-1517
M
22. Al-Mutawakkil III 1517-1517
M.[6]
C.
Peninggalan Dinasti Abbasiyah
1. Benteng al-Ukhaider
Benteng al-Ukhaider terletak di
padang pasir berjarak 48 km dari kota Karbala dan 150 km di selatan kota
Baghdad, Irak. Benteng al-Ukhaider I merupakan salah satu benteng yang paling
indah dari jejak-jejak peninggalan kekuasaan Muslim. Tembok luar dari benteng
tersebut masih lengkap dan terawat dengan baik.
Benteng ini dibangun oleh salah
seorang pemimpin dari Dinasti Abbasiyah yang pernah berkuasa di Irak yakni Isa
ibn Musa pada 774 hingga 775 M. Di dalam benteng tersebut juga dibangun masjid
dan tempat tinggal semacam aparteman. Arsitektur dari benteng tersebut sangat
indah dan sangat menggambarkan arsitektur Islam.
Pada saat terjadinya perang Teluk
yang terjadi antara Irak dan Kuwait pada 1991, benteng tersebut pernah diserang
oleh dua pesawat terbang. Namun benteng peninggalan Dinasti Abbasiyah tersebut
tetap berdiri dengan kokohnya tanpa ada kerusakan yang cukup berarti. Hal ini
merupakan bukti kemampuan teknik bangunan yang tinggi dari arsiteknya.
Pada zaman dulu, benteng Al Ukhaider
sering menghubungkan antara Irak dengan dunia luar. Selain itu, banyak para
kafilah, pedagang dan orang-orang nomaden seperti Atshan dan Mujdah yang sering
singgah di benteng tersebut. Selain untuk singgah, benteng tersebut juga
berfungsi melindungi wilayah-wilayah di sekitarnya dari serangan orang asing.[7]
2. Masjid ibn. Tholun
Masjid Ibn Thoulun dibangun pada masa
dinasti Abbasiyah, dibangun oleh Ahmad Ibn Thoulun yang merupakan gubernur pada
masa itu dan berkuasa antara tahun 868-884 Masehi. Masjid ini sebenarnya berada
di atas sebuah bukit kecil yang bernama Gabal Yashkur, namun karena saat
ini sudah menjadi kawasan pemukiman padat maka bukitnya sudah tidak terlihat
lagi. Menurut sejarah masjid ini adalah masjid istana dan letaknya berdekatan
dengan istana Ibn Thoulun, tapi pada abad awal abad 10 bangunan istananya di
runtuhkan sehingga peninggalan dinasti Tulunid hanya berupa masjid ini saja. Setelah jatuhnya Dinasti Ibnu Tulun, untuk beberapa
tahun kembali mesir berada di bawah kekuasaan khalifah Baghdad.[8]
Ruangan masjid Ibn Thoulun hampir
tidak bersekat dan berdaun pintu, terdiri dari pilar-pilar dengan bentuk
melengkung. Bagian pilar masjid terdapat ragam hias berupa ukiran dan
kaligrafi.Mimbar untuk khutbah berada di atas, mirip sebuah panggung.
Arsitektur masjid ini sangat berbeda
dengan arsitektur masjid di Mesir pada umumnya. Masjid yang berbentuk persegi
dengan halaman tengah yang luas, hanya memiliki 1 menara tapi tidak memiliki
kubah kecuali pada bagian ablution fountain (tempat wudhu) atau dalam
bahasa arab disebut sabil yang berada di halaman tengah masjid.
Menara spiral yang berfungsi untuk tempat menyerukan adzan inilah yang menjadi
salah satu ciri khas masjid ini. Arsitektur masjid relatif simple dan tidak
banyak detail seperti yang terdapat pada masjid-masjid di Mesir. Masjid Ibn
Thoulun merupakan bangunan masjid tertua kedua di Mesir setelah masjid Amru bin
Ash.
3. Mimbar Shibam
Masjid shibam didirikan
oleh Sahabat Nabi, Labid ibn Ziyâd al-Ansârî,
ketika diutus oleh Rasulullah untuk membawa bendera Islam ke Negeri Yaman.
Hingga saat ini, masjid Jâmi Shibam telah mengalami beberapa
renovasi. Bahkan, bangunan otentik yang didirikan Sahabat Labid disinyalir
sudah tidak tampak lagi.
Dalam perjalanan historisnya, masjid
ini pernah populer dengan sebutan Masjid Harun al-Rasyid. Hal ini disebabkan
karena pada pemerintahan Dinasti Abbasiyah, Khalifah Harun al-Rasyid berperan
besar dalam memberikan instruksi untuk merenovasi serta merekonstruksi bangunan
masjid hingga menjadi sebagaimana yang ada sekarang. Hal ini begitu tampak pada
rancang bangun serta seni ukiran masjid yang bercorak khas arsitektur
Abbasiyah. Dan sebagaimana masjid di negeri Yaman pada umumnya, masjid ini juga
dilengkapi dengan menara putih nan tinggi. Selain masjid Jami’ Shibam, ada
sekitar enam masjid tua lain yang masih berdiri kokoh, antara lain: Masjid Ba’adzib, Masjid Khawqah,
dan Masjid al-Madrasah.
Mimbar Shibam menjadi saksi bisu
bagaimana seorang pemimpin politis sebuah pemerintahan juga memiliki peran
vital dalam bidang agama. Usianya yang berabad-abad telah membuat rapuh
sebagian besar pilar kayunya, sehingga pemerintah Yaman memutuskan untuk
menonfungsikan mimbar itu dan diabadikan sebagai warisan berharga peninggalan
sejarah. Museum Mimbar baru dibuka tahun 2009 M, dengan dukungan Tim Teknisi
dari Jerman serta donasi dana dari Sekretaris Umum Sektor Pariwisata dan
Barang-Barang Purbakala Saudi Arabia, Sultan ibn Salmin ibn Abd al-Aziz.
Para pengunjung pun diperbolehkan untuk naik ke mimbar tersebut sekedar untuk
berpose dan mengabadikan gambar.[9]
D.
Masa Kejayaan Islam di Baghdad
Pada mulanya ibu kota Negara
adalah Al-Hasyimiyah dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga
stabilitas negara yang baru berdiri itu Al-Manshur memindahkan ibu kota Negara
ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon,
pada tahun 762 M.
Baghdad terletak di pinggir kota
Tigris. Al-Manshur sangat cermat dan teliti dalam memilih lokasi yang akan
dijadikan ibu kota. Ia menugaskan beberapa orang ahli untuk meneliti dan
mempelajari lokasi. Bahkan ada beberapa orang diantara mereka yang
diperintahkan tinggal beberapa hari ditempat itu pada setiap musim yang
berbeda. Kemudian para ahli tersebut melaporkan kepadanya tentang keadaan
udara, tanah dan lingkungan. Setelah melakukan penelitian secara saksama,
daerah ini ditetapkan sebagai ibukota dan pembangunan pun dimulai.
Kota ini berbentuk bundar. Di
sekelilingnya dibangun dinding tembok yang besar dan tinggi. Di sebelah luar
dinding tembok, digali parit besar yang berfungsi sebagai saluran air dan
sekaligus sebagai benteng. Ada empat buah pintu gerbang di seputar kota ini,
disediakan untuk setiap orang yang ingin memasuki kota.[10]
Kota Baghdad sebagai pusat
intelektual terdapat beberapa pusat aktivitas pengembangan ilmu, antara lain
Baitul Hikmah, yaitu lembaga ilmu pengetahuan sebagai pusat pengkajian berbagai
ilmu. Baghdad juga sebagai pusat pengkajian beberapa ilmu. Baghdad juga sebagai
penerjemah buku-buku dari berbagai cabang ilmu yang kemudian diterjemahkan
kedalam bahasa Arab.
Berdasarkan fakta sejarah,
terungkap bahwa pada masa Harun ar-Rasyid merupakan masa yang paling gemilang
dalam peradaban Islam. Ketika orang-orang Eropa masih berada dalam zaman
kegelapan, Baghdad yang merupakan ibu kota dinasti ini pada masa tersebut
justru telah tampil menjadi pusat peradaban, kebudayaan dan ilmu pengetahuan
yang cahayanya menerangi seluruh dunia.[11]
E.
Kemajuan dan Faktor Penyebab Mundurnya Dinasti Abbasiyah
1.
Kemajuan
Umat Islam sesungguhnya banyak dipacu untuk dapat
mengembangkan dna memberikan motivasi, melakukan inovasi serta kreativitas
dalam upaya membawa umat kepada keutuhan dan kesempurnaan hidup.
Kontribusi ilmu telihat pada upaya Harun Al-Rasyid dan
puteranya Al-Makmun ketika mendirikan sebuah akademi pertama dilengkapi pusat
peneropong bintang, perpustakaan terbesar dan dilengkapi pula dengan lembaga
untuk penerjemah.[12]
a.
Lembaga dan Kegiatan Ilmu Pengetahuan
Lembaga ini kita kenal ada dua tingkatan, yaitu :
1)
Maktab/kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat
anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, menghitung dan menulis serta anak remaja
belajar dasar-dasar ilmu agama;
2)
Tingkat pendalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmu nya, pergi ke
luar daerah atau kemasjid-masjid bahkan kerumah-rumah gurunya.
b.
Corak Gerakan Keilmuan
Gerakan keilmuan pada Dinasti Abbasiyah lebih bersifat
spesifik. Kajian keilmuan yang kemanfaatannya bersifat keduniaan bertumpu pada
ilmu kedokteraan, disamping kajian bersifat pada Al-Qur’an dan Al-Hadis; sedang
astronomi, mantik dan sastra baru dikembangkan dengan penerjemahan dari Yunani.
c.
Kemajuan dalam Bidang Agama
Pada masa Dinasti Abbasiyah, ilmu dan metode tafsir mulai
berkembang, terutama dua metode penafsiran, yaitu tafsir bi al-ma’tsur dan
tafsir bi al-ra’yi.
Dalam bidang hadis, pada zamannya hanya bersifat
penyempurnaan, pembukuan dari catatan dan hafalan para sahabat. Pada zaman ini
juga mulai diklasifikasikan secara sistematis dan kronologis. Pengklasifikasi
itu secara ketat dikualifikasikan sehingga kita kenal dengan klasifikasi hadis Shahih,
Dhaif dan Maudhu. Bahkan dikemukakan pula kritik sanad dann matan,
sehingga terlihat jarah dan takdil rawi yang meriwayatkan hadis
tersebut.
Dalam bidang fiqih, pada masa ini lahir fuqaha legendaris
yang kita kenal, seperti Imam Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam
Syafei (767-820 M) dan Imam Ahmad ibnu Hambal (780-855 M).
Ilmu lughah tumbuh berkembang dengan pesat pula
karena bahasa Arab yang semakin dewasa memerlukan suatu ilmu bahasa yang
menyeluruh. Ilmu bahasa yang dimaksud adalah nahwu, sharaf, ma’ani, bayan,
badi, arudh, dan insya.[13]
d.
Kemajuan Ilmu Pengetahuan, Sains dan Teknologi
Kemajuan ilmu teknologi (sains) sesungguhnya telah
direkayasa oleh ilmuwan Muslim. Kemajuan tersebut adalah sebagai berikut.
1)
Astronomi, ilmu ini melalui karya India Sindhind kemudian diterjemahkan
oleh Muhammad ibnu Ibrahim Al-Farazi (777 M). Ia adalah astronom Muslim yang
membuat astrolabe, yaitu alat yang mengukur ketinggian bintang. Disamping itu,
masih ada ilmuwan-ilmuwan Islam lainnya, seperti Ali ibnu Isa Al-Asturlabi,
Al-Farghani, Al-Battani, Umar Al-Khayyam dan Al-Tusi.
2)
Sastra, Baghdad merupakan kota pusat seniman dan sastrawan. Para tokoh
sastra antara lain: Abu Nawas, dan An-Nasyasi.
3)
Sejarah, masa dinasti Abbasiyah banyak muncul tokoh-tokoh sejarah. Beberapa
tokoh sejarah lainnya antara lain: Ahmad bin Al-Ya’kubi, Ibnu Ishaq, Abdullah
bin Muslim Al-Qurtubah, Ibnu Hisyam, Ath-Thabari, Al-Maqrizi, dan Al-Baladzuri.
4)
Farmasi, diantara ahli farmasi pada masa Dinasti Abbasiyah adalah Ibnu
Baithar, karyanya yang terkenal adalah Al-Mughni (berisi tentang
obat-obatan), Jami Al-Mufradat Al-Adawiyah (berisi tentang obat-obatan
dan makanan bergizi).[14]
5)
Kedokteran, pada masa ini dokter pertama oyang terkenal adalah Ali ibnu
Rabban Al-Tabari. Pada tahun 850 ia mengarang buku Firdaus al-Hikmah.
Tokoh lainnya adalah Al-Razi, Al-Farabi dan Ibnu Sina.
6)
Ilmu kimia, bapak ilmu kimia Islam adalah Jabir ibnu Hayyan (721-815 M).
Sebenarnya banyak ahli kimia Islam ternama lainnya seperti Al-Razi, Al-Tuqrai
yang hidup pada abad ke-12 M.
7)
Sejarah dan geografi. Pada masa Abbasiyah sejarawan ternama abad ke-3 H
adalah Ahmad binAl-Yakubi, Abu Jafar Muhammad bin Jafar bin ibnu Khurdazabah
(820-913 M).
e.
Perkembangan Politik, Ekonomi, dan Administrasi
Pada masa pemerintahan Abbasiyah periode I,
kebijakan-kebijakan politik yang dikembangkan antara lain:
1)
Memindahkan ibukota negara Damaskus ke Baghdad;
2)
Memusnakan keturunan Bani Umayyah;
3)
Merangkul orang-orang Persia, dalam rangka politik memperkuat diri,
Abbasiyah memberi peluang dan kesempatan yang besar kepada kaum mawali;
4)
Menumpas pemberontakan-pemberontakan;
5)
Menghapus politik kasta.
Selain
kebijakan-kebijakan di atas, langkah-langkah lain yang diambil dalam program
politiknya adalah:
1)
Para Khalifah tetap dari Arab, sementara para menteri, gubernur, panglima
perang dan pegawai lainnya banyak diangkat dari golongan Mawali;
2)
Kota Baghdad ditetapkan sebagai ibukota negara dan dan menjadi pusat
kegiatan politik, ekonomi dan kebudayaan;
3)
Kebebasan berpikir dan berpendapat mendapat porsi yang tinggi.
2.
Faktor penyebab mundurnya Dinasti Abbasiyah
Baghdad yang terkenal sebagai pusat kebudayaan dan ilmu
pengetahuan Islam, pada tahun 1258 mendapat serbuan Mongol. Tentara Mongol
menyembelih seluruh penduduk dan menyapu Baghdad bersih dari permukaan bumi.[15] Dihancurkanlah segala
macam peradaban dan pusaka yang telah dibuat beratus-ratus tahun lamanya.
Diangkut kitab-kitab yang telah dikarang oleh ahli ilmu pengetahuan bertahun-tahun
lalu dihanyutkan ke dalam sungai Dajlah sehingga berubah warna airnya lantaran
tinta yang larut. Khalifah sendiri beserta keluarganya ikut memusnakan sehingga
putuslah bani Abbas dan hancurlah kerajaan yang telah bertahta dengan
kebesarannya selama 500 tahun itu.[16]
Dari peristiwa itu dapat disimpulkan bahwa jatuhnya Kota
Baghdad di tangan Hulagu Khan pada tahun 1250 M bukan hanya pertanda
berakhirnya supremasi Khalifah Abbasiyah dalam dominasi politiknya, melainkan
juga berdampak sangat luas bagi perjalanan sejarah umat Islam. Ini merupakan
titik awal kemunduran umat Islam di bidang politik dan peradaban Islam yang
selama berabad-abad menjadi kebanggaan umat.
Semua kemegahan, keindahan, dan kehebatan kota Baghdad
yang dibangun pertama kali oleh khalifah Al-Manshur itu sekarang hanya tinggal
kenangan. Semuanya seolah-olah hanyut dibawa arus sungai Tigris, setelah kota
ini dibumihanguskan oleh tentara Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan tahun
1258M. Semua bangunan kota, termasuk istana emas tersebut dihancurkan.
Selain penyerangan itu, faktor lain yang juga menyebabkan
jatuhnya Baghdad, yaitu:
a.
Persaingan tidak sehat antara beberapa bangsa yang terhimpun dalam Daulah
Abbasiyah, terutama Arab, Persia, dan Turki.
b.
Konflik aliran pemikiran dalam Islam yang sering menyebabkan timbulnya
konflik berdarah.
c.
Munculnya dinasti-dinasti kecil yang memerdekaan diri dari kekuasaan pusat
di Baghdad.
d.
Kemerosotan ekonomi.[17]
e.
Pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh para oposan seperti
pemberontakan orang-orang Arab, Syiah, Khawarij, intern keluarga Abbasiyah dan
sebagainya.
f.
Penyerangan bansa Mongol (Tartar) yang dipimpin oleh Hulagu Khan pada tahun
1258 M, dimana khalifah dan keluarganya dibunuh serta ia mengumumkan secara
sepihak berakhirnya pemerintahan Bani Abbasiyah di Baghdad.[18]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Dinasti Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M, oleh Abul Abbas
Ash-Shafah, dan sekaligus sebagai khalifah pertama. Kekuasaan Dinasti Abbasiyah
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, yaitu selama lima abad dari tahun
132-656 H (750 M-1258 M). Berdirinya pemerintahan ini dianggap sebagai
kemenangan pemikiran yang pernah dikumandangkan oleh Bani Hasyim (Alawiyun)
setelah meninggalnya Rasulullah dengan mengatakan bahwa yang berhak untuk
berkuasa adalah keturunan Rasulullah dan anak-anaknya.
2.
Para khalifah Bani Abbasiyah berjumlah 37 khalifah. Dan 22 khalifah yang
ada di Mesir.
3.
Ada tiga peninggalan Dinasti Abbasiyah, yaitu: benteng al-Ukhaider, masjid
Ibn. Tholun, dan mimbar shibam.
4.
Berdasarkan fakta sejarah, terungkap bahwa pada masa Harun ar-Rasyid
merupakan masa yang paling gemilang dalam peradaban Islam. Ketika orang-orang
Eropa masih berada dalam zaman kegelapan, Baghdad yang merupakan ibu kota
dinasti ini pada masa tersebut justru telah tampil menjadi pusat peradaban,
kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cahayanya menerangi seluruh dunia.
5.
Ada beberapa kemajuan Dinasti Abbasiyah, yaitu: kemajuan dalam bidang
agama, sains, dan lain-lain. Ada juga faktor penyebab kemunduran Dinasti
Abbasiyah, yaitu: pertentangan internal keluarga dan kehilangan kendali dan
munculnya daulat-daulat kecil.
B.
Saran
Sebagai penulis, kami menyadari
bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Karenanya, sumbang saran kritik
membangun sangat kami harapkan demi perbaikan kedepan.
DAFTAR PUSTAKA
Edyar, Busman, Ahmad Ta’rifin, dkk. 2009. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: Pustaka Asatruss.
Kodir, Abdul. 2015. Sejarah Pendidikan Islam.
Bandung: Pustaka Setia.
Munir Amin, Samsul. 2016. Sejarah Peradaban Islam.
Jakarta: AMZAH.
Sunanto, Musyrifah. 2007. Sejarah Islam Klasik.
Jakarta: Kencana.
Suwito dan Fauzan. 2008. Sejarah Sosial Pendidikan
Islam. Jakarta: Kencana.
Su’ud, Abu. 2003. Islamologi (sejarah, ajaran, dan
peranannya dalam peradaban umat manusia). Jakarta: PT Rinekacipta.
Thohir, Ajid. 2009. Perkembangan Peradaban di Kawasan
Dunia Islam. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.
Yatim, Badri. 2008. Sejarah Peradaban Islam.
Jakarta: Rajawali Pers.
[1] Ash-Shafah artinya sang penumpah darah. Menurut Prof. Dr. Hamka, Abul Abbas
Ash-Shafah dikenal sebagai orang yang masyhur karena kedermawanannya, kuat
ingatannya, keras hati, tetapi sangat besar dendamnya kepada Bani Umayyah.
Sehingga dengan tidak mengenal belas kasihan dibunuhnya keturunan-keturunan
Bani Umayyah itu.
[4] Abu Su’ud. Islamologi (sejarah, ajaran, dan peranannya dalam peradaban
umat manusia). Jakarta: PT. Rinekacipta. 2003. Hlm. 73.
[7] Republika. “Benteng al-Ukhaider”. Diakses dari http://www.republika.co.id/berita/shortlink/69097. Pada tanggal 23 November 2016. Pukul: 20:30 WIB.
[9] Armaseva.
“Peninggalan Peradaban Islam”. Diakses dari http://armaseva.blogspot.co.id/2015/01/peninggalan-peradaban-islam.html. Pada tanggal 11 November 2016. Pukul 08:46
WIB.
[12] Thohir Ajid. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada. 2009. Hlm. 49-50.
[18] Busman Edyar, Ahmad Ta’rifin, dkk. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta:
Pustaka Asatruss. 2009. Hlm. 71.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar