Penyiaran agama Islam di Indonesia
sudah dimulai sejak abad ke 7, yaitu pada zaman Khalifah Usman, dan berkembang
dengan berakhirnya perang Salib yang menyebabkan kemunduran dunia Islam. Oleh
karena itu tersiarnya agama Islam di Indonesia diwarnai oleh dua kondisi yang
kurang menuntungkan yaitu:
Sejarah pendidikan Islam dimulai
sejak agama Islam masuk ke Indonesia, yaitu kira-kira pada abad keduabelas
Masehi.Ahli sejarah umumnya sependapat, bahwa agama Islam mula-mula masuk ialah
ke pulau Sumatera bagian Utara di daerah Aceh.
Apabilakah sejarah masuknya Islam
itu, tahun berapa, dan siapakah yang mula-mula memasukkan?
Tidaklah dapat jawaban yang pasti
dalam sejarah. Setengah ahli sejarah mengatakan, bahwa agama Islam masuk ke
daerah Aceh pada pertengahan abad keduabelas Masehi. Setengah mereka
berpendapat, bahwa Islam telah masuk ke Aceh sebelum abad keduabelas Masehi.
Alasannya ialah karena pada abad keduabelas itu telah banyak ahli-ahli agama yang
termasyhur di Aceh. Hal itu menunjukkan, bahwa Islam telah masuk ke daerah Aceh
sebelum abad keduabelas, karena tidak mungkin Islam baru masuk, lalu lahir
orang-orang ahli dalam Islam itu.
Pendapat ini dikuatkan lagi dengan
keterangan setengah ahli sejarah, bahwa orang Arab/Islam telah mengenal pulau
Sumatera dalam abad kesembilan. Oleh sebab itu banyak di antara mereka itu
datang ke Sumatera dan ke pulau-pulau Indonesia yang lain untuk berniaga.
Sungguhpun mereka datang ke
Indonesia dengan maksud hendak berniaga, tetapi mereka tidak lupa memegang
Al-Qur’an di tangan kanannya. Dalam melaksanakan usaha perniagaan, mereka
menyiarkan agama Islam kepada penduduk negeri. Dengan berangsur-angsur penduduk
negeri tertarik kepada agama Islam, lalu mereka memeluk agama itu. Sebab itu
tidak heran, bahwa agama Islam telah masuk ke daerah Aceh sebelum abad
keduabelas.
Umumnya ahli sejarah memastikan
masuk Islam ke daerah Aceh itu dengan perjalanan Marco Polo. Dalam
perjalanannya pulang dari Tiongkok, ia singgah di Aceh pada tahun 1292 Masehi.
Menurut keterangannya, di Perlak telah didapatnya rakyat yang beragama Islam.
Perlak adalah pelabuhan besar di Aceh pada masa itu, yang menghadap ke Selat
Malaka.
Begitu juga dengan perjalanan Ibnu
Bathutha, pengembara Magribi yang masyhur (th. 725 H = 1325 M). Dalam
perjalanannya pulang-pergi ke Tiongkok, ia singgah di Pase. Pada masa itu Pase
telah menjadi kerajaan Islam di bawah perintah Raja bernama Al-Malikuz-Zahir.
Dengan kerangan tersebut ahli
sejarah menetapkan dengan pasti, bahwa agama Islam mula-mula masuk ke Indonesia
ialah dari daerah Aceh.
Dan dari sanalah Islam memancarkan
cahayanya ke Malaka dan Sumatera Barat (Minangkabau). Dari Minangkabau Islam
berkembang ke Sulawesi, Ambon dan sampai ke Filipina. Kemudian Islam tersiar ke
Jawa Timur, dari sana ke Jawa Tengah dan ke Banten, sampai ke Lampung dan
Palembang dan keseluruh kepulauan Indonesia. Bukan saja agama Islam dianut dan
didukung oleh rakyat umum, bahkan berdiri pula beberapa kerajaan Islam di
Indonesia.
Di Sumatera berdiri kerajaan Islam
di Pasei, Perlak, Samudra dan Bersama pada tahun 1290-1511 M. Dan kerajaan
Islam Aceh pada tahun 1514-1904 M, dan kerajaan Islam di Minangkabau pada tahun
1500 M.
Di Jawa berdiri kerajaan Islam Demak
pada tahun 1500-1546 M, dan kemudian kerajaan Islam Banten pada tahun 1550-1757
M, dan kerajaan Islam Pajang pada tahun 1568-1586 M, dan kerajaan Islam Mataram
pada tahun 1575-1757 M.
Jalur-jalur yang dilakukan oleh para
penyebar Islam yang mula-mula di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.
Melalui
jalur perdagangan
2.
Melalui
jalur perkawinan
3.
Melalui
jalur tasawuf
4.
Melalui
jalur pendidikan
5.
Melalui
jalur kesenian
Pada awal perkembangannya agama
Islam di Indonesia, pendidikan Islam dilaksanakan secara informal. Seperti
telah diterangkan pada sub bab di atas, bahwa agama Islam datang ke Indonesia
dibawa oleh para pedagang muslim. Sambil berdagang mereka menyiarkan agama
Islam kepada orang-orang yang mengelilinginya yaitu mereka yang membeli
barang-barang dagangannya. Begitulah setiap ada kesempatan mereka memberikan
pendidikan dan ajaran agama Islam.
Didikan dan ajaran Islam mereka
berikan dengan perbuatan, dengan contoh dan tiru teladan. Mereka berlaku sopan
santun, ramah-ramah, tulus ikhlas, amanah dan kepercayaan, pengasih dan
pemurah, jujur dan adil, menepati janji serta menghormati adat istiadat anak negeri.
Dengan demikian tertariklah penduduk negeri hendak memeluk agama Islam.
Begitulah para penganjur Islam pada
waktu itu melaksanakan penyiaran Islam kapan saja, di mana saja setiap ada
kesempatan, di pinggir kali sambil menunggu perahu yang akan mengangkut barang ke
seberang, di perjamuran waktu kenduri, di padang rumput tempat pengembalaan
ternak, di pasar, di warung kopi, dan sebagainya. Disitulah agama Islam
diajarkan dan dididikkan kepada mereka dengan cara yang mudah dan dengan
demikian orang akan dengan mudah pula menerima dan melakukannya.
Proses ini berlanjut terus dan
hubungan antara para penganjur agama dengan anak negeri semakin erat sehingga
memungkinkan terbentuknya ukhuwah yang lebih mantap, dan dengan jalan
perkawinan dapatlah menurunkan generasi Islam yang mendatang.
Pendidikan dan pengajaran Islam
secara informal ini ternyata membawa hasil yang sangat baik sekali dan bahkan
menakjubkan, karena dengan berangsur-angsur tersiarlah agama Islam di seluruh
kepulauan Indonesia, mulai Sabang sampai Maluku.
Sistem pendidikan Islam informal
ini, terutama yang berjalan dalam lingkungan keluarga sudah diakui keampuhannya
dalam menanamkan sendi-sendi agama dalam jiwa anak-anak. Anak-anak dididik dengan ajaran-ajaran agama sejak kecil dalam keluarganya.
Mareka dibiasakan untuk melakukan perbuatan-perbuatan dengan didahului membaca
basmallah. Mereka dilatih membaca basmallah. Mereka dilatih membaca Al-Qur’an,
melakukan salat dengan berjama’ah, berpuasa di bulan Ramadhan dan lain-lain.
Usaha-usaha pendidikan agama di
masyarakat, yang kelak dikenal dengan pendidikan non-formal, ternyata mampu
menyediakan kondisi yang sangat baik dalam menunjang keberhasilan pendidikan
Islam dan memberi motivasi yang kuat bagi umat Islam untuk menyelenggarakan
pendidikan agama yang lebih baik dan lebih sempurna.
Karena dengan cepatnya Islam
tersebar di seluruh Indonesia dan karena mudahnya orang masuk Islam yaitu
dengan hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, maka banyak sekali orang
tua yang tidak memiliki ilmu agama Islam yang cukup untuk mendidik anak-anak
mereka. Justru itulah anak-anak mereka suruh pergi ke langgar atau surau untuk
mengaji kepada seorang guru ngajai atau guru agama. Bahkan di masyarakat yang
kuat agamanya ada suatu tradisi yang mewajibkan anak-anak yang sudah berusia 7
tahun meninggalkan rumah dan ibunya dan tinggal di surau atau langgar untuk
mengaji pada guru agama.
Memang, dalam bentuk yang permulaan,
pendidikan agama Islam di surau atau langgar atau di masjid masih sangat
sederhana. Modal pokok yang mereka miliki hanya semangat menyiarkan agama bagi
yang telah mempunyai ilmu agama dan semangat menuntut ilmu bagi anak-anak. Yang
penting bagi guru agama ialah dapat memberikan ilmunya kepada siapa saja,
terutama kepada anak-anak.
Di pusat-pusat pendidikan seperti
ini, di surau, langgar masjid atau bahkan di serambi rumah sang guru, berkumpul
sejumlah murid, besar dan kecil, duduk di lantai, menghadapi sang guru, belajar
mengaji. Waktu mengajar biasanya di berikan pada waktu petang atau malam hari,
sebab pada waktu siangnya anak-anak membantu orang tuanya bekerja, sedangkan
sang guru juga bekerja mencari nafkah keluarganya sendiri. Dengan demikian
pelaksanaan pendidikan agama pada anak-anak ini tidak mengganggu pekerjaan
sehari-hari, baik bagi orang tua anak-anak maupun bagi sang guru agama. Itulah
sebabnya, pelajaran agama dan latihan beragama itu mendapat dukungan dari orang
tua dan guru malahan dari seluruh masyarakat kampung atau desa itu.
Tempat-tempat pendidikan Islam
seperti inilah yang menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok
pesantren dan pendidikan Islam yang formal yang berbentuk madrasah atau sekolah
yang berdasarkan keagamaan.
Sesuai dengan namanya, maka pondok
berarti tempat menginap (asrama), dan pesantren berarti tempat para
santri mengaji agama Islam. Jadi Pondok Pesantren adalah tempat murid-murid
(disebut santri) mengaji agama Islam dan sekaligus di asramakan di tempat itu.
Sistem pendidikan pada pondok
pesantren ini masih sama seperti sistem pendidikan di surau, langgar atau
masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama.
Demikianlah sistem pondok pesantren tumbuh
dan berkembang di mana-mana, yang ternyata mempunyai peranan yang sangat
penting dalam usaha mempertahankan eksistensi umat Islam dari serangan dan
penindasan fisik dan mental dari kaum penjajah beberapa abad lamanya.
Adapun isi pendidikan dan pengajaran
agama Islam pada tingkat permulaan ini meliputi:
1.
Belajar
membaca Al-Qur’an
2.
Pelajaran
dan praktek shalat.
3.
Pelajaran
ketuhanan (teologis) atau ketauhidan yang pada garis besarnya berpusat pada
sifat dua puluh.
Pada tingkat yang lebih tinggi
diajarkan pula bahasa Arab, mulai mempelajari ushul fiqh, misalnya tharahah,
shalat, zakat, puasa dan haji. Kemudian dilanjutkan dengan pelajaran yang
mengenai aturan-aturan tentang nikah, talak, rujuk, dan waris.
Bila disimpulkan, maka isi
pendidikan dan pengajaran agama Islam sampai timbul sistem madrasah, baik yang
diajarkan di surau-surau, langgar, masjid maupun pondok pesantren adalah
sebagai berikut:
1.
Pengajian
Al-Qur’an, pelajarannya:
a.
Huruf
hija’iyah dan membaca Al-Qur’an
b.
Ibadat
(praktek dan perukunan)
c.
Keimanan
(sifat dua puluh)
d.
Akhlaq
(dengan cerita dan tiruan teladan
2.
Pengajian
kitab, pelajarannya:
a.
Ilmu
á¹£araf
b.
Ilmu
nahwu
c.
Ilmu
fiqh
d.
Ilmu
tafsir dan lain-lain.
Materi pelajaran seperti tersebut di
atas ternyata sama untuk seluruh Indonesia, terutama materi pelajaran kitab.
Pengajian kitab di Jawa di seluruh Indonesia pun sama juga keadaannya, dengan
di Sumatera. Pelajaran itu dimulai dengan mempergunakan kitab Al-Awamil dan
Al-Kalamu, setelah itu kitab Fiqh (Al-Minhaj) dan Tafsir Jalalain.
Banyak kerajaan-kerajaan Islam yang tumbuh dan berkembang di Sumatera.
Beberapa kerajaan Islam tersebut antara lain:
1. Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh dan
merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini terletak di
pesisir Timur Laut Aceh. Kapan
berdirinya Kesultanan Samudera Pasai belum bisa dipastikan dengan tepat dan
masih menjadi perdebatan para ahli sejarah.Namun, menurut Uka Tjandrasasmita
(Ed) dalam buku Badri Yatim, menyatakan bahwa kemunculannya sebagai
kerajaan Islam diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke-13
M, sebagai hasil dari proses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah
disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad ke-7 dan seterusnya.
Berdasarkan berita dari Ibnu Batutah, dikatakan bahwapada tahun 1267 telah berdirikerajaan Islam, yaitu kerajaan Samudra Pasai. Hal ini dibuktikan
dengan adanya batu nisan makam Sultan Malik Al Saleh (1297 M), Raja pertama Samudra Pasai.
Malik Al-Saleh, raja pertama
kerajaan Samudera Pasai, merupakan pendiri kerajaan tersebut. Dalam Hikayat
Raja-raja Pasai disebutkan nama Malik Al-Saleh sebelum menjadi raja adalah
Merah Sile atau Merah Selu. Ia masuk Islam setelah mendapat mendapatkan seruan
dakwah dari Syaikh Ismail beserta rombongan yang datang dari Mekkah.
Samudera Pasai ketika itu
merupakan pusat studi agama Islam dan tempat berkumpul ulama-ulama dari
berbagai negeri Islam untuk berdiskusi berbagai masalah keagamaan dan
keduniaan. Selain itu, Sultan Maliku Zhahir juga mengutus para ulama untuk
berdakwah ke berbagai wilayah Nusantara.
Kehidupan masyarakat Samudera Pasai diwarnai oleh agama
dan kebudayaan Islam. Pemerintahnya bersifat Theokrasi(berdasarkan
ajaran Islam) rakyatnya sebagian besar memeluk agama Islam. Raja raja Pasai membina
persahabatan dengan Campa, India, Tiongkok, Majapahit dan Malaka.
Selama abad 13 sampai awal abad 16, Samudera Pasai
dikenal sebagai salah satu kota dengan bandar pelabuhan yang sangat sibuk. Samudera Pasai menjadi pusat perdagangan internasional dengan lada
sebagai salah satu komoditas ekspor utama. Bukan hanya perdagangan ekspor impor yang maju. Sebagai
bandar dagang yang maju, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang sebagai alat
pembayaran. Salah satunya yang terbuat dari emas dikenal sebagai uang dirham.
2. Kerajaan Aceh
Peletak dasar kebesaran Kerajaan
Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah. Pada masa pemerintahannya, wilayah
kekuasaan Aceh Darussalam semakin meluas sampai di Bengkulu di pantai Barat,
seluruh Pantai Timur Sumatera, dan Tanah Batak di pedalaman. Kegiatan
perdagangan berkembang dengan pesat, terutama dengan Gujarat, Arab, dan Turki.
Puncak kekuasaan kerajaan Aceh
terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637 M). Pada masa
ini merupakan masa paling gemilang bagi Aceh, di mana kekuasaannya meluas dan
terjadi penyebaran Islam hampir di seluruh Sumatera.
Di masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda, Aceh Darussalam menjadi salah satu pusat pengembangan Islam di
Indonesia. Di Aceh dibangun masjid Baiturrahman, rumah-rumah ibadah, dan
lembaga-lembaga pengkajian Islam. Di Aceh tinggal ulama-ulama tasawuf yang
terkenal, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin, Syaikh Nuruddin Ar-Raniri, dan
Abdul Rauf As-Sinkili.
3. Kerajaan Minangkabau
Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang
bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok
dalam adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yang
terkenal: "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang
artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam
bersendikan pada Al-Quran.
Pengaruh agama Islam membawa perubahan secara fundamental
terhadap adat Minangkabau. Tetapi sejak kapan pengaruh Islam memasuki tubuh
adat Minangkabau secara pasti, masih sukar dibuktikan.
Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan
kerajaaan Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi
dan beberapa istilah lain yang berhubungan dengan Islam. Penamaan nagari Sumpur
Kudus yang mengandung kata kudus yang berasal dari kata Qudus (suci) sebagai
tempat kedudukan Rajo Ibadat dan Limo Kaum yang mengandung kata qaumjelas
merupakan pengaruh dari bahasa Arab atau Islam.
Selain itu dalam perangkat adat juga muncul istilah Imam,
Katik (Khatib), Bila (Bilal), Malin (Mu'alim) yang merupakan pengganti dari
istilah-istilah yang berbau Hindu dan Buddha yang dipakai sebelumnya.
1.
Kerajaan
Demak
Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Demak sebelumnya merupakan
daerah bawahan dari Majapahit. Daerah ini diberikan kepada Raden
Patah, keturunan Raja Majapahit yang terakhir.
Dalam masa pemerintahan Raden
Patah, Demak berhasil dalam berbagai bidang, di antaranya adalah perluasan dan
pertahanan kerajaan, pengembangan Islam dan pengamalannya, serta penerapan
musyawarah dan kerja sama antara ulama dan umara (penguasa).
Di antara ketiga raja Demak,
Sultan Trenggana lah yang berhasil menghantarkan Kusultanan Demak ke masa
jayanya. Pada masa Trenggana, daerah kekuasaan Demak meliputi seluruh Jawa
serta sebagian besar pulau-pulau lainnya.
Cepatnya kota Demak berkembang
menjadi pusat perniagaan dan lalu lintas serta pusat kegiatan pengislaman tidak
lepas dari andil masjid Agung Demak. Dari sinilah para wali dan raja dari
Kesultanan Demak mengadakan perluasan kekuasaan yang dibarengi oleh kegiatan
dakwah Islam ke seluruh Jawa
Kesultanan ini merupakan kerajaan
Islam pertama yang terletak di daerah pedalaman. Sebelumnya, kerajaan Islam
selalu berada di daerah pesisir, karena Islam datang melalui para pedagang dari
Asia Barat yang berlabuh di pesisir.
Sultan pertama pajang adalah Mas
Kerebet. Ia berasal dari Pangging, desa di lereng Gunung Merapi sebelah
tenggara. Mas Karebet memiliki nama lain, yakni Jaka Tingkir. Tingkir adalah
nama tempat Mas Karebet dibesarkan. Oleh Raja Demak ketiga, Jaka Tingkir diangkat
menjadi penguasa di Pajang, setelah sebelumnya dinikahkan dengan anak
perempuannya.
Setelah Sultan Trenggana
meninggal pada tahun 1546, anaknya yang bernama Sunan Prawoto diangkat sebagai
penggantinya. Akan tetapi, ia kemudian meninggal terbunuh dalam perebutan
kekuasaan oleh keponakannya sendiri, yaitu Arya Panangsang.
Kesultanan Pajang adalah
kesultanan Islam yang menggantungkan hidupnya pada budaya agraris, karena
secara geografis pajang jauh terletak di pedalaman Jawa. Pengaruh agama Islam
yang kuat di pesisir menjalar dan tersebar ke daerah pedalaman. Pada masa
pemerintahan Sultan Adiwijaya, Pajang berusaha mengembangkan kesusasteraan dan
kesenian Islam.
Kehidupan masyarakat di kerajaan
Mataram, tertata dengan baik berdasarkan hukum Islam tanpa meninggalkan
norma-norma lama begitu saja. Dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Islam, Raja
merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, kemudian diikuti oleh sejumlah pejabat
kerajaan. Di bidang pengadilan, dalam istana terdapat jabatan jaksa yang
bertugas menjalankan pengadilan istana.
Kerajaan Mataram menggantungkan
kehidupan ekonominya dari sektor agraris. Hal ini karena letaknya yang berada
di pedalaman. Akan tetapi, Mataram juga memiliki daerah kekuasan di daerah
pesisir utara Jawa yang mayoritas sebagai pelaut. Daerah pesisir inilah yang
berperan penting bagi arus perdagangan Kerajaan Mataram.
Kebudayaan yang berkembang pesat
pada masa Kerajaan Mataram berupa seni tari, pahat, suara, dan sastra. Bentuk
kebudayaan yang berkembang adalah Upacara Kejawen yang merupakan akulturasi
antara kebudayaan Hindu-Budha dengan Islam.
Di samping itu, perkembangan di
bidang kesusastraan memunculkan karya sastra yang cukup terkenal, yaitu Kitab
Sastra Gending yang merupakan perpaduan dari hukum Islam dengan adat istiadat
Jawa yang disebut Hukum Surya Alam.
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kerajaan Islam yang ternama di Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Sunan
Gunung Jati. Ia kemudian diyakini sebagai pendiri kesultanan Cirebon dan
Banten, serta menyebar islam di majalengka, Kuningan, kawali Galuh, Sunda
Kelapa, dan Banten. Setelah Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1568,
terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam cirebon. Pada
mulanya, calon kuat penggantinya adalah pangeran Dipati Carbon, Putra Pengeran
Pasarean, cucu Syarif Hidayatullah. Namun, Pangeran Adipati Carbon meninggal
lebih dahulu pada tahun 1565 M.
Kosongnya kekuasaan itu kemudian
diisi dengan mengukuhkan pejabat istana yang memegang kendali pemerintahan
selama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati melaksanakan Dakwah. Pejabat
tersebut adalah Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik tahta,
secara resmi menjadi Sultan Cirebon sejak tahun 1568. Setelah wafat, Fatahillah
digantikan berturut-turut oleh Pangeran Dipati Ratu, Pangeran Dipati Anom
Carbon, dan Panembahan Girilaya.
Panembahan Girilaya memiliki tiga
putra, yaitu pangeran murtawijaya, pangeran Kartawijaya, dan pangeran
wangsakerta. Pada penobatan ketiganya di tahun 1677 M, kesultanan cirebon
terpecah menjadi tiga. Ketiga bagian itu dipimpin oleh tiga anak panembahan
Girilaya, yakni :
a)
Pangeran Martawijaya atau sultan
Kraton Kasepuhan, dengan gelar Sepuh Abi Makarimi Muhammad Samsudin (1677 –
1703 M)
b)
Pangeran Kartawijaya atau Sultan
Kanoman, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677 – 1723
M)
c)
Pangeran Wangsakerta atau
Panembahan Cirebon, dengan gelar pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau
Panembahan Tohpati (1677 – 1713 M)
Banten tumbuh menjadi pusat
perdagangan dan pelayaran yang ramai karena menghasilkan lada dan pala yang
banyak. Pedangang Cina, India, gujarat, Persia, dan Arab banyak yang datang
berlabuh di Banten. Kehidupan sosial masyarakat Banten dipengaruhi oleh sistem
kemasyarakatan Islam. Pengaruh tersebut tidak terbatas di lingkungan daerah
perdagangan, tetapi meluas hingga ke pedalaman.
Sultan Maulana Yusuf mangkat pada
tahun 1580 M. Setelah mangkat, terjadilah perang saudara untuk memperebutkan
tahta di Banten. Setelah peristiwa itu, putra Sultan Maulana Yusuf, Maulana
Muhammad yang baru berusia sembilan tahun diangkat menjadi Raja dengan
perwalian Mangkubumi.
Masa pemerintahan Maulana
Muhammad berlangsung tahun 1580-1596 M. Kemudian digantikan oleh Abdul Mufakir
yang masih kanak-kanak didampingi oleh Pangeran Ranamenggala. Setelah pangeran
Rana Menggala wafat, Banten mengalami kemunduran.
Kesultanan banten mulai bangkit
kembali, ketika dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa yang berkuasa pada tahun
1651-1680 M. Cita-cita Sultan Ageng Tirtayasa adalah mempersatukan wilayah
Pasundan di bawah kekuasaan Banten dan memajukan agama Islam. Untuk memajukan
agama Islam, Sultan bekerjasama dengan ulama-ulama tasawuf yang mumpuni, salah
satunya adalah Syaikh Yusuf Al-Makassari. Menetapnya Syaikh di Kesultanan
Banten menyebabkan banten berkembang menjadi salah satu pusat pengajaran
tarekat Khalwatiyah dan Rifa’iyah.
Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa,
pelabuhan Banten mampu berkembang menjadi pelabuhan ekspor internasional. Dari
pelabuhan Banten, banyak komoditi dagang yang diekspor ke Persia, India, Arab,
Manila, Tiongkok, Jepang. Di sektor pertanian, beliau membuka ladang-ladang
baru, perluasan sawah, dan perbaikan pengairan.
1.
Sunan Gresik
(Maulana Malik Ibrahim)
Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali
pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa, dianggap sebagai ayah dari walisongo.
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara
membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah.
Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati
masyarakat secara gratis.
Di Gresik, beliau juga memberikan pengarahan agar tingkat
kehidupan rakyat gresik semakin meningkat. Beliau memiliki gagasan mengalirkan
air dari gunung untuk mengairi sawah dan ladang. Ia
mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat
kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan
Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda
krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama
di Leran, Gresik. Pada tahun 1419.
2.
Sunan Ampel
(Raden Rahmad)
Sunan Ampel adalah anak dari Maulana Malik Ibrahim yang
tertua, ia membangun mengembangkan pondok pesantren di daerah Ampel Denta yang
berawa-rawa. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan
Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentral pendidikan yang sangat berpengaruh
di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan
Giri dan Raden Fatah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah
ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi, namun pada para
santrinya, beliau hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada
penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “MoLimo” (moh
main, mohngombe, moh maling, moh madat, mohmadon). Yakni seruan untuk “tidak
berjudi, tidak minum-minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotika,
dan tidak berzina.
3.
Sunan Bonang
(Raden Maulana Makhdum Ibrahim)
Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di
Ampel Denta. Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang
memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia
menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur.
Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari
sumber air di tempat-tempat gersang.
Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat ‘cinta’.
Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama
dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT
atau haqalyaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media
kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu
dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental
dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator
gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya
ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan
transedental (alam malakut). Tembang “Tombo Ati” adalah salah satu karya Sunan
Bonang.
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang
piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan
tafsir-tafsir khas Islam.
4.
Sunan Drajat
(Raden Qasim)
Beliau menekankan kedermawanan, kerja keras, dan
peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Beliau
mendirikan pesantren yang bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran,
Lamongan. Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara
langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Tembang macapat Pangkur disebutkan
sebagai ciptaannya. Ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk
petuah “berilah tongkat pada si buta, beri makan pada yang lapar, beri pakaian
pada yang telanjang”.GamelanSingomengkok adalah salah satu peninggalannya yang
terdapat di Musium daerah Sunan Drajat, Lamongan.
5.
Sunan Kudus
(Ja’farShadiq)
Beliau memiliki keahlian khusus dalam bidang agama,
terutama dalam ilmu fikih, tauhid, hadits, tafsir serta logika. Karena itulah
di antara walisongo hanya ia yang mendapat julukan wali al-‘ilm (wali yang luas
ilmunya), dank arena keluasan ilmunya ia didatangi oleh banyak penuntut ilmu
dari berbagai daerah di Nusantara. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan
gurunya Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara
penyampaiannya bahkan lebih halus.
Cara-cara berdakwah Sunan Kudus adalah sebagai berikut:
a. Strategi pendekatan kepada masa dengan jalan
1) Membiarkan adat istiadat lama yang sulit diubah
2) Menghindarkan konfrontasi secara langsung dalam
menyiarkan agama islam
3) Tut Wuri Handayani
4) Bagian adat istiadat yang tidak sesuai dengan mudah
diubah langsung diubah.
b. Merangkul masyarakat Hindu seperti larangan menyembelih
sapi karena dalam agama Hindu sapi adalah binatang suci dan keramat.
c. Merangkul masyarakat Budha
Selain masjid, Sunan Kudus juga mendirikan padasan tempat
wudlu dengan pancuran yang berjumlah delapan, diatas pancuran diberi arca
kepala Kebo Gumarang diatasnya hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha.
d. Selamatan Mitoni
Biasanya sebelum acara selamatan diadakan membacakan
sejarah Nabi.
6. Sunan Giri (Ainul Yaqi Atau Raden Paku)
Beliau mendirikan pesantren di daerah perbukitan Desa
Sidomukti, Selatan Gresik. Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat
pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih.
Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya
seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan
cublaksuweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending
Asmaradana dan Pucung yang bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.
7.
Sunan Kalijaga
(Raden Mas Syahid)
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor
sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Ia memilih kesenian dan kebudayaan
sebagai sarana untuk berdakwah penyebaran Islam, antara lain dengan wayang,
sastra dan berbagai kesenian lainnya. Pendekatan jalur kesenian dilakukan oleh
para penyebar Islam seperti Walisongo untuk menarik perhatian di kalangan
mereka, sehingga dengan tanpa terasa mereka telah tertarik pada ajaran-ajaran
Islam sekalipun, karena pada awalnya mereka tertarik dikarenakan media kesenian
itu. Misalnya, Sunan Kalijaga adalah tokoh seniman wayang. Ia itdak pernah
meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian
wayang masih dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi di dalam
cerita itu disispkan ajaran agama dan nama-nama pahlawan Islam.
Beliau sangat toleran pada budaya lokal, ia berpendapat
bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus
didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga
berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama
hilang.
Sunan Kalijaga jugalah yang menciptakan Baju takwa,
perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi
Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta
masjid.
8.
Sunan Muria
(Raden Umar Said)
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan
Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di
daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan
bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan Muria dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan
berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu
dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari
Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya
lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
9.
Sunan Gunung
Jati (Syarif Hidayatullah)
Sunan Gunung Jati sebelum meletakkan dasar agama Islam
dan bagi perdagangan orang Islam, terlebih dahulu telah menunaikan rukun ke-5
naik haji ke Mekkah sebelum tiba di Kerajaan Sultan Demak. sebagai haji yang
shaleh dan sebagai mufasir yang mengenal percaturan dunia ia mendapat sambutan
hangat di kerajaan itu.
Kemudian setelah itu pindah ke Banten, dan ia berhasil
menggaantikan bupati Pasundan di situ, dan mengambil alih pemerintahan atas
kota pelabuhan tersebut. Dengan awal langkah inilah ia memenfaatkantahtanya
untuk menyebarkan agama Islam, terutama mengislamkan Jawa Barat.