Assalamu'alaikum.. Selamat Datang di Blog Suci Utari.. Selamat Membaca, Semoga Dapat Memberikan Manfaat.. Mohon Kritik dan Sarannya ^_^

Minggu, 20 Agustus 2023

Puisi Yakinlah

 

Yakinlah

Oleh : Suci Utari

 

Masih ingat masalah di akhir tahun kemarin?

Saat itu dilematis sekali mencerup hawa bening

Laksana negeri di atas awan

Kabut asap memangkas jarak pandang

 

Sholat meminta hujan dan rekayasa hujan buatan

Semua usaha telah dilakukan

Berkat kesabaran dan anugerah Tuhan

Kita bisa melewati rintangan

 

Yakinlah, badai pasti berlalu

Patuhi aturan pemerintah

Agar corona cepat berlalu

Tak lupa tingkatkan ibadah

 

Di rumah aja tidaklah membosankan

Jika melakukan yang bermanfaat

Memutuskan mata rantai penyebaran

Agar semuanya selamat dan sehat

Puisi Ayo Bangkit

 

Ayo Bangkit!

Oleh: Suci Utari

 

Dua tahun kita berjuang melawan pandemi

Jutaan jiwa sudah menjadi umpan

Bayi yang suci, remaja produktif

Bahkan, tulang punggung kebanggaan keluarga

 

Ia tak pernah mengerti

Alangkah sengsaranya orang yang ditinggalkan

Mengais rezeki mencari sesuap nasi

Supaya hidup dapat bertahan

 

Ekonomi yang semakin sulit

Memaksa diri untuk pandai mengirit

Pun lapangan pekerjaan yang kiat sedikit

Membuat diri mati tercekik

 

Sudah sembilan puluh empat tahun sumpah dikumandangkan

Ayo bangkit pemuda pemudi Indonesia

Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa

Untuk Indonesia yang lebih baik

 

Tanjung Gelam, 1 November 2022

Puisi Merindu

 

Bolehkah Merindu?

Karya : Suci Utari

 

Untukmu yang memilih meninggalkan

Padahal sempat singgah dan menetap

Sampai-sampai memiliki angan-angan

Menua bersama dalam satu atap

 

Sanda tak pernah hendak menyerah

Mestinya sira menyadari

Sanda sekadar melepas lelah

Sebab semesta tak pernah turut merestui

 

Setelah segala apa yang terjadi

Bolehkah sanda merindu?

 

Menikmati es kelapa muda

Bercengkerama laksana tempo lalu

Saat hari mulai senja

Di sore kala itu

Selasa, 24 April 2018

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA


PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA


Disusun Oleh : Kelompok VII
Semester : VI PAI B
1.      Billy Muharom          (2015.01.016)
2.      Medi Sutrisno            (2015.01.070)
3.      Suci Utari                   (2015.01.110)
Dosen Pengampu : Muhajir Syarif, M.Pd.I

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL-QUR’AN AL-ITTIFAQIAH
INDRALAYA OGAN ILIR SUMATERA SELATAN
TAHUN AKADEMIK 2017/2018



Penyiaran agama Islam di Indonesia sudah dimulai sejak abad ke 7, yaitu pada zaman Khalifah Usman, dan berkembang dengan berakhirnya perang Salib yang menyebabkan kemunduran dunia Islam. Oleh karena itu tersiarnya agama Islam di Indonesia diwarnai oleh dua kondisi yang kurang menuntungkan yaitu:
Sejarah pendidikan Islam dimulai sejak agama Islam masuk ke Indonesia, yaitu kira-kira pada abad keduabelas Masehi.Ahli sejarah umumnya sependapat, bahwa agama Islam mula-mula masuk ialah ke pulau Sumatera bagian Utara di daerah Aceh.
Apabilakah sejarah masuknya Islam itu, tahun berapa, dan siapakah yang mula-mula memasukkan?
Tidaklah dapat jawaban yang pasti dalam sejarah. Setengah ahli sejarah mengatakan, bahwa agama Islam masuk ke daerah Aceh pada pertengahan abad keduabelas Masehi. Setengah mereka berpendapat, bahwa Islam telah masuk ke Aceh sebelum abad keduabelas Masehi. Alasannya ialah karena pada abad keduabelas itu telah banyak ahli-ahli agama yang termasyhur di Aceh. Hal itu menunjukkan, bahwa Islam telah masuk ke daerah Aceh sebelum abad keduabelas, karena tidak mungkin Islam baru masuk, lalu lahir orang-orang ahli dalam Islam itu.
Pendapat ini dikuatkan lagi dengan keterangan setengah ahli sejarah, bahwa orang Arab/Islam telah mengenal pulau Sumatera dalam abad kesembilan. Oleh sebab itu banyak di antara mereka itu datang ke Sumatera dan ke pulau-pulau Indonesia yang lain untuk berniaga.
Sungguhpun mereka datang ke Indonesia dengan maksud hendak berniaga, tetapi mereka tidak lupa memegang Al-Qur’an di tangan kanannya. Dalam melaksanakan usaha perniagaan, mereka menyiarkan agama Islam kepada penduduk negeri. Dengan berangsur-angsur penduduk negeri tertarik kepada agama Islam, lalu mereka memeluk agama itu. Sebab itu tidak heran, bahwa agama Islam telah masuk ke daerah Aceh sebelum abad keduabelas.[2]
Umumnya ahli sejarah memastikan masuk Islam ke daerah Aceh itu dengan perjalanan Marco Polo. Dalam perjalanannya pulang dari Tiongkok, ia singgah di Aceh pada tahun 1292 Masehi. Menurut keterangannya, di Perlak telah didapatnya rakyat yang beragama Islam. Perlak adalah pelabuhan besar di Aceh pada masa itu, yang menghadap ke Selat Malaka.
Begitu juga dengan perjalanan Ibnu Bathutha, pengembara Magribi yang masyhur (th. 725 H = 1325 M). Dalam perjalanannya pulang-pergi ke Tiongkok, ia singgah di Pase. Pada masa itu Pase telah menjadi kerajaan Islam di bawah perintah Raja bernama Al-Malikuz-Zahir.
Dengan kerangan tersebut ahli sejarah menetapkan dengan pasti, bahwa agama Islam mula-mula masuk ke Indonesia ialah dari daerah Aceh.
Dan dari sanalah Islam memancarkan cahayanya ke Malaka dan Sumatera Barat (Minangkabau). Dari Minangkabau Islam berkembang ke Sulawesi, Ambon dan sampai ke Filipina. Kemudian Islam tersiar ke Jawa Timur, dari sana ke Jawa Tengah dan ke Banten, sampai ke Lampung dan Palembang dan keseluruh kepulauan Indonesia. Bukan saja agama Islam dianut dan didukung oleh rakyat umum, bahkan berdiri pula beberapa kerajaan Islam di Indonesia.
Di Sumatera berdiri kerajaan Islam di Pasei, Perlak, Samudra dan Bersama pada tahun 1290-1511 M. Dan kerajaan Islam Aceh pada tahun 1514-1904 M, dan kerajaan Islam di Minangkabau pada tahun 1500 M.
Di Jawa berdiri kerajaan Islam Demak pada tahun 1500-1546 M, dan kemudian kerajaan Islam Banten pada tahun 1550-1757 M, dan kerajaan Islam Pajang pada tahun 1568-1586 M, dan kerajaan Islam Mataram pada tahun 1575-1757 M.[3]
Jalur-jalur yang dilakukan oleh para penyebar Islam yang mula-mula di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.      Melalui jalur perdagangan
2.      Melalui jalur perkawinan
3.      Melalui jalur tasawuf
4.      Melalui jalur pendidikan
5.      Melalui jalur kesenian
6.      Melalui jalur politik[4]
Pada awal perkembangannya agama Islam di Indonesia, pendidikan Islam dilaksanakan secara informal. Seperti telah diterangkan pada sub bab di atas, bahwa agama Islam datang ke Indonesia dibawa oleh para pedagang muslim. Sambil berdagang mereka menyiarkan agama Islam kepada orang-orang yang mengelilinginya yaitu mereka yang membeli barang-barang dagangannya. Begitulah setiap ada kesempatan mereka memberikan pendidikan dan ajaran agama Islam.
Didikan dan ajaran Islam mereka berikan dengan perbuatan, dengan contoh dan tiru teladan. Mereka berlaku sopan santun, ramah-ramah, tulus ikhlas, amanah dan kepercayaan, pengasih dan pemurah, jujur dan adil, menepati janji serta menghormati adat istiadat anak negeri. Dengan demikian tertariklah penduduk negeri hendak memeluk agama Islam.
Begitulah para penganjur Islam pada waktu itu melaksanakan penyiaran Islam kapan saja, di mana saja setiap ada kesempatan, di pinggir kali sambil menunggu perahu yang akan mengangkut barang ke seberang, di perjamuran waktu kenduri, di padang rumput tempat pengembalaan ternak, di pasar, di warung kopi, dan sebagainya. Disitulah agama Islam diajarkan dan dididikkan kepada mereka dengan cara yang mudah dan dengan demikian orang akan dengan mudah pula menerima dan melakukannya.
Proses ini berlanjut terus dan hubungan antara para penganjur agama dengan anak negeri semakin erat sehingga memungkinkan terbentuknya ukhuwah yang lebih mantap, dan dengan jalan perkawinan dapatlah menurunkan generasi Islam yang mendatang.[5]
Pendidikan dan pengajaran Islam secara informal ini ternyata membawa hasil yang sangat baik sekali dan bahkan menakjubkan, karena dengan berangsur-angsur tersiarlah agama Islam di seluruh kepulauan Indonesia, mulai Sabang sampai Maluku.
Sistem pendidikan Islam informal ini, terutama yang berjalan dalam lingkungan keluarga sudah diakui keampuhannya dalam menanamkan sendi-sendi agama dalam jiwa anak-anak. Anak-anak dididik  dengan ajaran-ajaran agama sejak kecil dalam keluarganya. Mareka dibiasakan untuk melakukan perbuatan-perbuatan dengan didahului membaca basmallah. Mereka dilatih membaca basmallah. Mereka dilatih membaca Al-Qur’an, melakukan salat dengan berjama’ah, berpuasa di bulan Ramadhan dan lain-lain.
Usaha-usaha pendidikan agama di masyarakat, yang kelak dikenal dengan pendidikan non-formal, ternyata mampu menyediakan kondisi yang sangat baik dalam menunjang keberhasilan pendidikan Islam dan memberi motivasi yang kuat bagi umat Islam untuk menyelenggarakan pendidikan agama yang lebih baik dan lebih sempurna.
Karena dengan cepatnya Islam tersebar di seluruh Indonesia dan karena mudahnya orang masuk Islam yaitu dengan hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, maka banyak sekali orang tua yang tidak memiliki ilmu agama Islam yang cukup untuk mendidik anak-anak mereka. Justru itulah anak-anak mereka suruh pergi ke langgar atau surau untuk mengaji kepada seorang guru ngajai atau guru agama. Bahkan di masyarakat yang kuat agamanya ada suatu tradisi yang mewajibkan anak-anak yang sudah berusia 7 tahun meninggalkan rumah dan ibunya dan tinggal di surau atau langgar untuk mengaji pada guru agama.[6]
Memang, dalam bentuk yang permulaan, pendidikan agama Islam di surau atau langgar atau di masjid masih sangat sederhana. Modal pokok yang mereka miliki hanya semangat menyiarkan agama bagi yang telah mempunyai ilmu agama dan semangat menuntut ilmu bagi anak-anak. Yang penting bagi guru agama ialah dapat memberikan ilmunya kepada siapa saja, terutama kepada anak-anak.
Di pusat-pusat pendidikan seperti ini, di surau, langgar masjid atau bahkan di serambi rumah sang guru, berkumpul sejumlah murid, besar dan kecil, duduk di lantai, menghadapi sang guru, belajar mengaji. Waktu mengajar biasanya di berikan pada waktu petang atau malam hari, sebab pada waktu siangnya anak-anak membantu orang tuanya bekerja, sedangkan sang guru juga bekerja mencari nafkah keluarganya sendiri. Dengan demikian pelaksanaan pendidikan agama pada anak-anak ini tidak mengganggu pekerjaan sehari-hari, baik bagi orang tua anak-anak maupun bagi sang guru agama. Itulah sebabnya, pelajaran agama dan latihan beragama itu mendapat dukungan dari orang tua dan guru malahan dari seluruh masyarakat kampung atau desa itu.
Tempat-tempat pendidikan Islam seperti inilah yang menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren dan pendidikan Islam yang formal yang berbentuk madrasah atau sekolah yang berdasarkan keagamaan.
Sesuai dengan namanya, maka pondok berarti tempat menginap (asrama), dan pesantren berarti tempat para santri mengaji agama Islam. Jadi Pondok Pesantren adalah tempat murid-murid (disebut santri) mengaji agama Islam dan sekaligus di asramakan di tempat itu.
Sistem pendidikan pada pondok pesantren ini masih sama seperti sistem pendidikan di surau, langgar atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama.
Demikianlah sistem pondok pesantren tumbuh dan berkembang di mana-mana, yang ternyata mempunyai peranan yang sangat penting dalam usaha mempertahankan eksistensi umat Islam dari serangan dan penindasan fisik dan mental dari kaum penjajah beberapa abad lamanya.[7]
Adapun isi pendidikan dan pengajaran agama Islam pada tingkat permulaan ini meliputi:
1.      Belajar membaca Al-Qur’an
2.      Pelajaran dan praktek shalat.
3.      Pelajaran ketuhanan (teologis) atau ketauhidan yang pada garis besarnya berpusat pada sifat dua puluh.
Pada tingkat yang lebih tinggi diajarkan pula bahasa Arab, mulai mempelajari ushul fiqh, misalnya tharahah, shalat, zakat, puasa dan haji. Kemudian dilanjutkan dengan pelajaran yang mengenai aturan-aturan tentang nikah, talak, rujuk, dan waris.
Bila disimpulkan, maka isi pendidikan dan pengajaran agama Islam sampai timbul sistem madrasah, baik yang diajarkan di surau-surau, langgar, masjid maupun pondok pesantren adalah sebagai berikut:
1.      Pengajian Al-Qur’an, pelajarannya:
a.       Huruf hija’iyah dan membaca Al-Qur’an
b.      Ibadat (praktek dan perukunan)
c.       Keimanan (sifat dua puluh)
d.      Akhlaq (dengan cerita dan tiruan teladan
2.      Pengajian kitab, pelajarannya:
a.       Ilmu á¹£araf
b.      Ilmu nahwu
c.       Ilmu fiqh
d.      Ilmu tafsir dan lain-lain.
Materi pelajaran seperti tersebut di atas ternyata sama untuk seluruh Indonesia, terutama materi pelajaran kitab. Pengajian kitab di Jawa di seluruh Indonesia pun sama juga keadaannya, dengan di Sumatera. Pelajaran itu dimulai dengan mempergunakan kitab Al-Awamil dan Al-Kalamu, setelah itu kitab Fiqh (Al-Minhaj) dan Tafsir Jalalain.[8]
Banyak kerajaan-kerajaan Islam yang tumbuh dan berkembang di Sumatera. Beberapa kerajaan Islam tersebut antara lain: 
1.      Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh  dan merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini terletak di pesisir Timur Laut Aceh. Kapan berdirinya Kesultanan Samudera Pasai belum bisa dipastikan dengan tepat dan masih menjadi perdebatan para ahli sejarah.Namun, menurut Uka Tjandrasasmita (Ed) dalam buku Badri Yatim, menyatakan bahwa kemunculannya sebagai kerajaan Islam  diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke-13 M, sebagai hasil dari proses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad ke-7 dan seterusnya.[9] Berdasarkan berita dari Ibnu Batutah, dikatakan bahwapada tahun 1267 telah berdirikerajaan Islamyaitu kerajaan Samudra Pasai.  Hal ini dibuktikan dengan adanya batu nisan makam Sultan Malik Al Saleh (1297 M), Raja pertama Samudra Pasai.
Malik Al-Saleh, raja pertama kerajaan Samudera Pasai, merupakan pendiri kerajaan tersebut. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebutkan nama Malik Al-Saleh sebelum menjadi raja adalah Merah Sile atau Merah Selu. Ia masuk Islam setelah mendapat mendapatkan seruan dakwah dari Syaikh Ismail beserta rombongan yang datang dari Mekkah.[10]
Samudera Pasai ketika itu merupakan pusat studi agama Islam dan tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai negeri Islam untuk berdiskusi berbagai masalah keagamaan dan keduniaan. Selain itu, Sultan Maliku Zhahir juga mengutus para ulama untuk berdakwah ke berbagai wilayah Nusantara.
Kehidupan masyarakat Samudera Pasai diwarnai oleh agama dan kebudayaan Islam. Pemerintahnya bersifat Theokrasi(berdasarkan ajaran Islam) rakyatnya sebagian besar memeluk agama Islam. Raja raja Pasai membina persahabatan dengan Campa, India, Tiongkok, Majapahit dan Malaka.
Selama abad 13 sampai awal abad 16, Samudera Pasai dikenal sebagai salah satu kota dengan bandar pelabuhan yang sangat sibuk. Samudera Pasai menjadi pusat perdagangan internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor utamaBukan hanya perdagangan ekspor impor yang maju. Sebagai bandar dagang yang maju, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang sebagai alat pembayaran. Salah satunya yang terbuat dari emas dikenal sebagai uang dirham.[11]
2.      Kerajaan Aceh
Peletak dasar kebesaran Kerajaan Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah. Pada masa pemerintahannya, wilayah kekuasaan Aceh Darussalam semakin meluas sampai di Bengkulu di pantai Barat, seluruh Pantai Timur Sumatera, dan Tanah Batak di pedalaman. Kegiatan perdagangan berkembang dengan pesat, terutama dengan Gujarat, Arab, dan Turki.
Puncak kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637 M). Pada masa ini merupakan masa paling gemilang bagi Aceh, di mana kekuasaannya meluas dan terjadi penyebaran Islam hampir di seluruh Sumatera.
Di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh Darussalam menjadi salah satu pusat pengembangan Islam di Indonesia. Di Aceh dibangun masjid Baiturrahman, rumah-rumah ibadah, dan lembaga-lembaga pengkajian Islam. Di Aceh tinggal ulama-ulama tasawuf yang terkenal, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin, Syaikh Nuruddin Ar-Raniri, dan Abdul Rauf As-Sinkili.[12]
3.      Kerajaan Minangkabau
Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yang terkenal: "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Quran.
Pengaruh agama Islam membawa perubahan secara fundamental terhadap adat Minangkabau. Tetapi sejak kapan pengaruh Islam memasuki tubuh adat Minangkabau secara pasti, masih sukar dibuktikan.
Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang berhubungan dengan Islam. Penamaan nagari Sumpur Kudus yang mengandung kata kudus yang berasal dari kata Qudus (suci) sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat dan Limo Kaum yang mengandung kata qaumjelas merupakan pengaruh dari bahasa Arab atau Islam.
Selain itu dalam perangkat adat juga muncul istilah Imam, Katik (Khatib), Bila (Bilal), Malin (Mu'alim) yang merupakan pengganti dari istilah-istilah yang berbau Hindu dan Buddha yang dipakai sebelumnya.
1.      Kerajaan Demak
Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Demak sebelumnya merupakan daerah bawahan dari Majapahit. Daerah ini diberikan kepada Raden Patah, keturunan Raja Majapahit yang terakhir.
Dalam masa pemerintahan Raden Patah, Demak berhasil dalam berbagai bidang, di antaranya adalah perluasan dan pertahanan kerajaan, pengembangan Islam dan pengamalannya, serta penerapan musyawarah dan kerja sama antara ulama dan umara (penguasa).
Di antara ketiga raja Demak, Sultan Trenggana lah yang berhasil menghantarkan Kusultanan Demak ke masa jayanya. Pada masa Trenggana, daerah kekuasaan Demak meliputi seluruh Jawa serta sebagian besar pulau-pulau lainnya.
Cepatnya kota Demak berkembang menjadi pusat perniagaan dan lalu lintas serta pusat kegiatan pengislaman tidak lepas dari andil masjid Agung Demak. Dari sinilah para wali dan raja dari Kesultanan Demak mengadakan perluasan kekuasaan yang dibarengi oleh kegiatan dakwah Islam ke seluruh Jawa
Kesultanan ini merupakan kerajaan Islam pertama yang terletak di daerah pedalaman. Sebelumnya, kerajaan Islam selalu berada di daerah pesisir, karena Islam datang melalui para pedagang dari Asia Barat yang berlabuh di pesisir.
Sultan pertama pajang adalah Mas Kerebet. Ia berasal dari Pangging, desa di lereng Gunung Merapi sebelah tenggara. Mas Karebet memiliki nama lain, yakni Jaka Tingkir. Tingkir adalah nama tempat Mas Karebet dibesarkan. Oleh Raja Demak ketiga, Jaka Tingkir diangkat menjadi penguasa di Pajang, setelah sebelumnya dinikahkan dengan anak perempuannya.
Setelah Sultan Trenggana meninggal pada tahun 1546, anaknya yang bernama Sunan Prawoto diangkat sebagai penggantinya. Akan tetapi, ia kemudian meninggal terbunuh dalam perebutan kekuasaan oleh keponakannya sendiri, yaitu Arya Panangsang.
Kesultanan Pajang adalah kesultanan Islam yang menggantungkan hidupnya pada budaya agraris, karena secara geografis pajang jauh terletak di pedalaman Jawa. Pengaruh agama Islam yang kuat di pesisir menjalar dan tersebar ke daerah pedalaman. Pada masa pemerintahan Sultan Adiwijaya, Pajang berusaha mengembangkan kesusasteraan dan kesenian Islam.
Kehidupan masyarakat di kerajaan Mataram, tertata dengan baik berdasarkan hukum Islam tanpa meninggalkan norma-norma lama begitu saja. Dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Islam, Raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, kemudian diikuti oleh sejumlah pejabat kerajaan. Di bidang pengadilan, dalam istana terdapat jabatan jaksa yang bertugas menjalankan pengadilan istana.
Kerajaan Mataram menggantungkan kehidupan ekonominya dari sektor agraris. Hal ini karena letaknya yang berada di pedalaman. Akan tetapi, Mataram juga memiliki daerah kekuasan di daerah pesisir utara Jawa yang mayoritas sebagai pelaut. Daerah pesisir inilah yang berperan penting bagi arus perdagangan Kerajaan Mataram.
Kebudayaan yang berkembang pesat pada masa Kerajaan Mataram berupa seni tari, pahat, suara, dan sastra. Bentuk kebudayaan yang berkembang adalah Upacara Kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha dengan Islam.
Di samping itu, perkembangan di bidang kesusastraan memunculkan karya sastra yang cukup terkenal, yaitu Kitab Sastra Gending yang merupakan perpaduan dari hukum Islam dengan adat istiadat Jawa yang disebut Hukum Surya Alam.
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kerajaan Islam yang ternama di Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Ia kemudian diyakini sebagai pendiri kesultanan Cirebon dan Banten, serta menyebar islam di majalengka, Kuningan, kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1568, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam cirebon. Pada mulanya, calon kuat penggantinya adalah pangeran Dipati Carbon, Putra Pengeran Pasarean, cucu Syarif Hidayatullah. Namun, Pangeran Adipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565 M.
Kosongnya kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat istana yang memegang kendali pemerintahan selama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati melaksanakan Dakwah. Pejabat tersebut adalah Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik tahta, secara resmi menjadi Sultan Cirebon sejak tahun 1568. Setelah wafat, Fatahillah digantikan berturut-turut oleh Pangeran Dipati Ratu, Pangeran Dipati Anom Carbon, dan Panembahan Girilaya.
Panembahan Girilaya memiliki tiga putra, yaitu pangeran murtawijaya, pangeran Kartawijaya, dan pangeran wangsakerta. Pada penobatan ketiganya di tahun 1677 M, kesultanan cirebon terpecah menjadi tiga. Ketiga bagian itu dipimpin oleh tiga anak panembahan Girilaya, yakni :
a)        Pangeran Martawijaya atau sultan Kraton Kasepuhan, dengan gelar Sepuh Abi Makarimi Muhammad Samsudin (1677 – 1703 M)
b)        Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677 – 1723 M)
c)        Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon, dengan gelar pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677 – 1713 M)
Banten tumbuh menjadi pusat perdagangan dan pelayaran yang ramai karena menghasilkan lada dan pala yang banyak. Pedangang Cina, India, gujarat, Persia, dan Arab banyak yang datang berlabuh di Banten. Kehidupan sosial masyarakat Banten dipengaruhi oleh sistem kemasyarakatan Islam. Pengaruh tersebut tidak terbatas di lingkungan daerah perdagangan, tetapi meluas hingga ke pedalaman.
Sultan Maulana Yusuf mangkat pada tahun 1580 M. Setelah mangkat, terjadilah perang saudara untuk memperebutkan tahta di Banten. Setelah peristiwa itu, putra Sultan Maulana Yusuf, Maulana Muhammad yang baru berusia sembilan tahun diangkat menjadi Raja dengan perwalian Mangkubumi.
Masa pemerintahan Maulana Muhammad berlangsung tahun 1580-1596 M. Kemudian digantikan oleh Abdul Mufakir yang masih kanak-kanak didampingi oleh Pangeran Ranamenggala. Setelah pangeran Rana Menggala wafat, Banten mengalami kemunduran.
Kesultanan banten mulai bangkit kembali, ketika dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa yang berkuasa pada tahun 1651-1680 M. Cita-cita Sultan Ageng Tirtayasa adalah mempersatukan wilayah Pasundan di bawah kekuasaan Banten dan memajukan agama Islam. Untuk memajukan agama Islam, Sultan bekerjasama dengan ulama-ulama tasawuf yang mumpuni, salah satunya adalah Syaikh Yusuf Al-Makassari. Menetapnya Syaikh di Kesultanan Banten menyebabkan banten berkembang menjadi salah satu pusat pengajaran tarekat Khalwatiyah dan Rifa’iyah.   
Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, pelabuhan Banten mampu berkembang menjadi pelabuhan ekspor internasional. Dari pelabuhan Banten, banyak komoditi dagang yang diekspor ke Persia, India, Arab, Manila, Tiongkok, Jepang. Di sektor pertanian, beliau membuka ladang-ladang baru, perluasan sawah, dan perbaikan pengairan.[13]
1.         Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa, dianggap sebagai ayah dari walisongo. Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis.
Di Gresik, beliau juga memberikan pengarahan agar tingkat kehidupan rakyat gresik semakin meningkat. Beliau memiliki gagasan mengalirkan air dari gunung untuk mengairi sawah dan ladang.[14] Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419.
2.         Sunan Ampel (Raden Rahmad)
Sunan Ampel adalah anak dari Maulana Malik Ibrahim yang tertua, ia membangun mengembangkan pondok pesantren di daerah Ampel Denta yang berawa-rawa. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentral pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Fatah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi, namun pada para santrinya, beliau hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “MoLimo” (moh main, mohngombe, moh maling, moh madat, mohmadon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum-minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotika, dan tidak berzina.
3.         Sunan Bonang (Raden Maulana Makhdum Ibrahim)
Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.
Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat ‘cinta’. Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haqalyaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang “Tombo Ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang.
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam.
4.         Sunan Drajat (Raden Qasim)
Beliau menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Beliau mendirikan pesantren yang bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta, beri makan pada yang lapar, beri pakaian pada yang telanjang”.GamelanSingomengkok adalah salah satu peninggalannya yang terdapat di Musium daerah Sunan Drajat, Lamongan.
5.         Sunan Kudus (Ja’farShadiq)
Beliau memiliki keahlian khusus dalam bidang agama, terutama dalam ilmu fikih, tauhid, hadits, tafsir serta logika. Karena itulah di antara walisongo hanya ia yang mendapat julukan wali al-‘ilm (wali yang luas ilmunya), dank arena keluasan ilmunya ia didatangi oleh banyak penuntut ilmu dari berbagai daerah di Nusantara. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan gurunya Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus.
Cara-cara berdakwah Sunan Kudus adalah sebagai berikut:
a.       Strategi pendekatan kepada masa dengan jalan
1)      Membiarkan adat istiadat lama yang sulit diubah
2)       Menghindarkan konfrontasi secara langsung dalam menyiarkan agama islam
3)      Tut Wuri Handayani
4)      Bagian adat istiadat yang tidak sesuai dengan mudah diubah langsung diubah.
b.      Merangkul masyarakat Hindu seperti larangan menyembelih sapi karena dalam agama Hindu sapi adalah binatang suci dan keramat.
c.       Merangkul masyarakat Budha
Selain masjid, Sunan Kudus juga mendirikan padasan tempat wudlu dengan pancuran yang berjumlah delapan, diatas pancuran diberi arca kepala Kebo Gumarang diatasnya hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha.
d.      Selamatan Mitoni
Biasanya sebelum acara selamatan diadakan membacakan sejarah Nabi.
6.    Sunan Giri (Ainul Yaqi Atau Raden Paku)
Beliau mendirikan pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublaksuweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung yang bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.
7.         Sunan Kalijaga (Raden Mas Syahid)
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Ia memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah penyebaran Islam, antara lain dengan wayang, sastra dan berbagai kesenian lainnya. Pendekatan jalur kesenian dilakukan oleh para penyebar Islam seperti Walisongo untuk menarik perhatian di kalangan mereka, sehingga dengan tanpa terasa mereka telah tertarik pada ajaran-ajaran Islam sekalipun, karena pada awalnya mereka tertarik dikarenakan media kesenian itu. Misalnya, Sunan Kalijaga adalah tokoh seniman wayang. Ia itdak pernah meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian wayang masih dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disispkan ajaran agama dan nama-nama pahlawan Islam.[15]
Beliau sangat toleran pada budaya lokal, ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Sunan Kalijaga jugalah yang menciptakan Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid.
8.         Sunan Muria (Raden Umar Said)
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan Muria dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
9.         Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Sunan Gunung Jati sebelum meletakkan dasar agama Islam dan bagi perdagangan orang Islam, terlebih dahulu telah menunaikan rukun ke-5 naik haji ke Mekkah sebelum tiba di Kerajaan Sultan Demak. sebagai haji yang shaleh dan sebagai mufasir yang mengenal percaturan dunia ia mendapat sambutan hangat di kerajaan itu.
Kemudian setelah itu pindah ke Banten, dan ia berhasil menggaantikan bupati Pasundan di situ, dan mengambil alih pemerintahan atas kota pelabuhan tersebut. Dengan awal langkah inilah ia memenfaatkantahtanya untuk menyebarkan agama Islam, terutama mengislamkan Jawa Barat.[16]



DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir. 2016. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Darmawijaya. 2010. Kesultanan Islam Nusantara. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Sutrisno, Budiono Hadi. 2009. Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Jawa. Yogyakarta: Graha Pustaka.
Su'ud, Abu. 2003. Islamologi (Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Yatim, Badri. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Yunus, Mahmud. 1996. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya.
Zuhairi, dkk. 2015. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.



[1]Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 2015). Hal: 208-209.
[2]Mahmud Yunus. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.(Jakarta: Hidakarya Agung, 1996). Hal: 10-11.
[3]Ibid. Hal: 11.
[4]Samsul Munir Amin. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Amzah, 2016). Hal: 306-308.
[5]Zuhairini, dkk. Op. Cit . Hal: 209-210.
[6]Ibid. Hal: 210-211.
[7]Ibid. Hal: 212-213.
[8]Ibid. Hal:219-220.
[9]Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010). Cet. 22. Hal:  205.
[10]Darmawijaya. Kesultanan Islam Nusantara.  (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010). Hal: 35.
[11]Ibid. hal: 40.
[12]Ibid. Hal: 41-44.
[13]Ibid. Hal: 44-83.
[14]Abu Su’ud. Islamologi (Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia). (Jakarta: PT  Rineka Cipta, 2003). Hal:125.
[15]Samsul Munir Amin. Op. Cit. Hal: 308.
[16]Budiono Hadi Sutrisno. Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Jawa. (Yogyakarta: Graha Pustaka, 2009). Hal: 166.

Puisi Yakinlah

  Yakinlah Oleh : Suci Utari   Masih ingat masalah di akhir tahun kemarin? Saat itu dilematis sekali mencerup hawa bening Laksana ...